Sore hari di dermaga penyeberangan Kayu Bangkoa, sampan-sampan bermotor tampak sibuk lalu lalang. Ramainya lalu lintas membuat hati jadi penasaran. Iseng, saya pun bertanya pada seorang tukang perahu ke manakah perahu akan berangkat.
"Pulau Lae-Lae," jawabnya singkat. Tanpa keraguan, saya pun naik ke perahu tanpa mengenal sama sekali seperti apakah Pulau Lae-Lae. Saya pun berkenalan dengan seorang penumpang bernama Shirley (32). Ia tinggal di Pulau Lae-Lae, namun bekerja di Kota Makassar.
Sampan bermotor pun menjadi angkutan umum yang membawa Shirley dan sebagian besar penduduk di Pulau Lae-Lae menyeberang ke Kota Makassar. Persis seperti yang pernah diutarakan seorang kenalan di Kota Makassar.
"Kalau pagi-pagi sekali bisa kelihatan orang-orang pulau datang untuk bekerja di Kota Makassar. Kalau sore pada pulang," ungkapnya.
Ya, orang kota menyebut mereka sebagai 'orang-orang pulau'. Sampan-sampan tersebut layaknya taksi yang membawa penduduk dari pulau ke pulau. Ada beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar di dekat kota Makassar.
Shirley salah satu penduduk pulau yang mengadu peruntungan di Kota Makassar. Ia menuturkan selain menjadi nelayan, beberapa penduduk juga usaha transportasi sampan. Apalagi jika yang dibawa turis, maka uang lebih pun bisa didapat. Tak jarang turis asing pun naik sampan bermotor. Sebagian besar turis mancanegara pelesir di Pulau Samalona yang terkenal sebagai tempat menyelam.
Lalu bagaimana dengan Pulau Lae-Lae? Shirley berbaik hati mengantar saya menelusuri pulau tersebut. Di Rumah-rumah penduduk dibangun rapat-rapat dan menghadap ke laut. Di depan rumah terdapat jalan setapak untuk pejalan kaki. Sehingga untuk benar-benar berkeliling pulau tersebut sangat mudah. Cukup berjalan saja di jalan setapak. Hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk mengelilingi Pulau Lae-Lae.
Di satu sudut pulau, Shirley memperlihatkan batu-batu yang berbentuk piramida. Ia pun tak tahu pasti sejak kapan batu-batu itu ada. "Dari saya kecil sudah ada batu-batu itu," katanya.
Fungsi batu tersebut untuk pemecah ombak. Apalagi jarak antara rumah dan laut sangat dekat. Saat pasang, jalan setapak pun digenangi air. Tak jarang menurut Shirley, air bisa masuk ke rumah. Karena itu, tampak beberapa rumah menggunakan model rumah panggung.
Beberapa ibu yang sedang bersantai di senja hari menyapa dengan ramah. Sayangnya, saat saya berkunjung beberapa warung sudah tutup. "Di sini ada 400 keluarga," kata Shirley.
Sebagian besar penduduk adalah orang tua atau yang sudah berkeluarga dan anak-anak. Sementara para muda merantau atau bolak-balik ke Kota Makassar. Apalagi di pulau tersebut hanya ada sekolah dasar.
"Kalau sekolah SMP dan SMA harus ke kota. Saya dulu juga gitu, naik perahu ke kota untuk sekolah," tutur Shirley yang juga seorang ibu beranak dua.
Menurut Shirley, pulau tersebut pernah menjadi markas tentara. Ia tak tahu pasti juga apakah tentara Jepang atau Belanda. "Tapi cerita nenek saya, kata orang-orang tua, di bawah ini ada terowongan bawah tanah," katanya.
Pulau dengan pantai berpasir putih dan panorama lepas pantai nan biru membuat pulau tersebut menjadi salah satu tujuan pelesir di Makassar. Selain itu, beberapa penduduk Kota Makassar sering datang untuk sekadar santai membakar ikan ataupun berenang. Di dekat dermaga, terdapat tanjung dengan dinding batu. Sepanjang tanjung ada bale-bale untuk tempat bersantai.
Sayang, di musim-musim tertentu pantai menjadi kotor karena sampah-sampah dari Pantai Losari. Jarak ke Pulau Lae-Lae dari Kota Makassar hanya 1,5 kilometer atau sekitar 20 menit perjalanan menggunakan sampan bermotor. Bahkan, pulau tersebut dapat terlihat dari Pantai Losari.
Oleh : Ni Luh Made Pertiwi F | I Made Asdhiana |
0 komentar:
Posting Komentar