Puisi itu dia buat sendiri di dalam ruangan perpustakaannya. Sebelum JK naik ke atas panggung untuk membacakan puisi, salah satu anaknya, Solihin Kalla memberikan kata sambutan.
"Saya berbicara di sini karena saya tidak bisa menari dan menyanyi. Saya diminta untuk berbicara terakhir. Sekali lagi terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu sekalian pada acara ulang tahun perkawinan ke-50 orang tua kami, Ida dan Ucu. Barusan kita menyaksikan cuplikan video sedikit cerita tentang ibu dan bapak kami," kata Solihin Kalla di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta, Minggu (27/8).
"Mulai dari istilah sekarang PDKT sampai hari ini yang sudah 50 tahun. Perjalanan yang sangat panjang yang mana cerita mereka tidak akan muat bila dituangkan dalam video tadi, tapi semoga cuplikan tadi dapat menginspirasi kita semua terutama kami anak, cucu mereka agar kami dapat hidup bahagia seperti Ucu dan Ida," lanjut dia.
Kemudian Solihin Kalla pun mengundang kedua orang tuanya untuk naik ke atas panggung. Tepuk tangan dari para hadirin pun mengiringi langkah JK dan Mufidah ke atas panggung.
JK memakai setelan jas, kemeja serta peci warna hitam. Sementara Mufidah memakai baju kebaya warna merah jambu dengan hiasan emas serta kerudung dan selendang warna hijau.
"Yang saya hormati Pak Jokowi dan Ibu, Pak Habibie, Pak Try, hadirin, hadirat. Sebenarnya sudah lengkap, tapi anak-anak saya minta saya bicara, tapi tidak boleh bicara dalam pidato tapi dalam puisi. Setahu saya baru satu kali bikin puisi waktu di Ambon dulu. Sekarang terpaksa buat kedua kalinya," seloroh JK yang mengundang tawa hadirin.
JK kemudian mulai membacakan puisinya yang menceritakan kisah cintanya dengan Mufidah Kalla sejak sebelum menikah. Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo dan hadirin menyimak dengan seksama.
"Setengah Abad yang Indah. Di hari Minggu yang sama setengah abad yang lalu kita duduk bersanding dengan penuh bahagia. Di aula Hotel Negara Makassar yang pada waktu itu cukup terpandang. Sekarang sudah bubar itu hotelnya. Setelah pagi ini akad nikah di rumahmu yang dipenuhi para keluarga. Itu hari terindah dalam hidupku," ucap JK yang kemudian mengundang tepuk tangan hadirin.
Berikut puisi lengkap JK untuk sang istri:
Setengah abad yang indah. Di hari minggu yang sama setengah abad yang lalu, kita duduk bersanding dengan penuh bahagia di aula Hotel Negara Makassar yang pada waktu itu cukup terpandang. Sekarang sudah bubar itu hotel. Setelah paginya akad nikah di rumah, yang dipenuhi para keluarga, itu hari terindah dalam hidupku.
Aku pertama kali melihatmu, waktu kita di SMA. Kita bersebelahan kelas, karena kau adik kelasku. Aku terpesona dengan kesederhanaanmu, walaupun kau sempat tak peduli padaku. Aku menyukaimu pada detik pertama aku melihatmu. (Hadirin tepuk tangan)
Tujuh tahun lamanya aku berusaha untuk mendekati dan meyakinkanmu. Tapi engkau seperti jinak jinak merpati. Sama dengan nama jalan di depan rumahmu,, Jalan Merapti Nomor 4. Antara mau dan tidak, sering membingungkan tidak jelas. Aku bersabar berjuang dengan waktu. Namanya pacaran tapi kurang asyik seperti teman-teman saya yang lain.
Ke mana-mana kau dikawal oleh adik-adikmu kayak Paspampres saja. Walaupun aku punya vespa, tapi kamu enggak pernah mau dibonceng. Selama tujuh tahun kita hanya sekali nonton bioskop. Itupun dengan teman temanmu, sehingga untuk bisa memgang tanganmu saja, sangat sulit.
Tapi kutahu hal yang sulit biasanya berakhir manis. Akar budaya kita memang berbeda, antara Bugis dan Minang. Orang tuamu kadang-kadang was-was dan khawatir karena engkau anak perempuan satu satunya. Adiknya laki-laki semua.
Orang tuaku begitu pula sering salah mengerti adat Minang. Kenapa perempuan lebih banyak menentukan, perbedaan yang nyaris menduakan kita. Kalau ke rumahmu harus siap untuk sabar mendengar petuah bapakmu dengan suara yang pelan. Seperti guru menasihati muridnya, karena memang bapak dan ibumu juga guru. Aku ingin menemuimu tapi bapakmu menyembunyikanmu.
Kau baru dipanggil ke luar kalau saya permisi pulang. Sebenarnya itu termasuk perilaku yang kejam (disambut tawa hadirin). Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib. Begitu magrib aku berdiri dengan fasih. Keluar salat berjamaah yang diimami oleh bapakmu.
Ini juga penting dengan bapakmu aku juga lagi salat. Setelah tamat SMA kau bekerja di BNI, sambil kuliah sore. Sampai kuliah aku juga bekerja di kantor bapakku, agar bisa sering terbang ke bank menyetor tabunganku. Sekali seminggu aku minta menjadi asisten dosen dan mengajar di kelasmu tanpa honor. Semua itu agar aku bisa bertemu denganmu dan melihat senyummu.
Berat sekali perjuanganku, tapi demi menatap mata beningmu. Akhirnya kau luluh juga. Ayahku akhirnya memahami perbedaan adat kita, selain buku dan sahabatnnya memberi nasihat, mungkin juga setelah membaca buku Hamka, tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Semua itu karena untuk melihat senyummu, yang mana tadi tuh kelewat. (hadir tertawa).
Saat orang tuaku melamarmu untuk jadi istriku, aku melihat cakrawala tersenyum perjuangan cinta bertahun tahun yang berbuah manis. Setelah kita menikah aku menjalankan perusahaan ayahku. Kau sekretaris, merangkap keuangan karena kita belum bisa mengangkat pegawai tambahan. Jadi gajinya dobel.
Di samping mengasuh anak juga mengurus rumah dengan baik. Lima anak kita kau asuh sendiri tanpa suster suster seperti cucu kita sekarang. Kau bagaikan wonder women untukku. Selama 50 tahun kau chief terbaik yang ku kenal, karenanya jarang sekali kita makan di restoran. Di kantor pun setiap hari kau kirim makanan. Teman teman selalu menunggu apa yang akan kau hidangkan. Kau tahu cintamu terus mengitariku karena hidangan enak yang kau buat.
50 Tahun kita jalani, 33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta. Sungguh suatu perjalanan yang panjang. Kita jalani hidup tanpa mengubah cara, kita tidak berubah kecuali di jalan kalau macet. Karena banyak polisi.
Aku suka kesederhanaanmu sejak pertama aku melihatmu dan sekarang kesederhanaanmu terindah. Secara ekonomi, gaji pejabat negara tidak besar, termasuk bapak Jokowi juga tidak besar. Lebih besar hasil usahamu yang bermacam macam. Dari menanam bunga sampai tambak udang yang kau urus dari meja riasmu sampai menelepon. Mungkin perpaduan semangat Minang dan Bugis yang kau alami. Kau perempuan hebat istriku, dalam aura kesederhanaanmu tersimpan energi yang dahsyat.
Orang bugis tak fasih berkata kata indah. Kecintaannya ditunjukkan oleh perilaku, bahasa tubuh, dan senyumnya. Untuk romantispun aku tak pandai ucapkan dengan kata-kata. Karena itu aku minta maaf kepadamu, karena selama 50 tahun aku tak pernah beri bunga sambil berucap i love you.
Terima kasih.
Usai membacakan puisi, tiba-tiba muncul teriakan dari cucu JK, "cium..cium..cium." Akhirnya JK mencium istrinya disambut tepuk tangan.