wisben.com on blogger |
- Foto Termahal Sepanjang Masa
- Sekolah Mengemudi di Afghanistan
- Asal Usul Penggunaan Jenis Huruf Times New Roman
- Beruang Ini Ternyata Penyuka Mobil
- Bayi manusia atau sapi ?
- Melintas Borneo Utara
- Memburu Udang Raksasa
- Munich, Kota Para Biksu
- Hooded Pitohui : Satu2nya Burung Beracun di Dunia
- Canggih.. Jaket Sentuhan Jarak Jauh Buatan Jepang
- Sepatu Masa Depan NIKE
- Pengantin Djawa Tempo Doeloe
- There's something about MQ !
- Pria Penyium Kentut
- 10 robot Tokoh Pewayangan
- Peluncuran ROKET NASA ke bulan
- Heboh !! Penemuan Logam Aneh yang Diduga Sebagai Alat Pendaratan UFO
- Menjadi Orang Danau di Kashmir
- Ksatria Pengantar Makan Siang di Mumbai
- Nyore Di Telaga Merdada
- Mencicipi Lezatnya Mie Ongklok Khas Dieng (Wonosobo)
- Minimnya Pilihan Makan Malam Di Dieng
- Sumur Jalatunda Yang Biasa Saja
- Objek Wisata Kawah Sileri
- Wonogiri kota kecil namun menyenangkan
Posted: 11 Sep 2011 09:33 AM PDT 8. Andy Warhol (1987) By: Robert Mapplethorpe Manusia yang difoto itu seorang selebriti, foto ini suskes terjual seharga $643,200 di tahun 2006. 7. The Great Wave, Sete (1857) By: Gustave Le Gray Dijepret pada tahun 1857 Inget yah.. pada waktu itu blom ada sotosop. Jadi efek yang dipake itu manual. Ditambah teknik pencucian fotonya yang mungkin kamu sekalian tidak ada yang ngerti. Terjual di pelelangan seharga $838,000 pada taun 1999. 6. [No.113] Athènes, Temple de Jupiter olympien pris de l'est (1842) By: Joseph-Philibert Girault de Prangey Terjual seharga $922,488 pada tahun 2003. 5. Untitled (Cowboy) (1989) By: Richard Prince ini keren kaya iklan Marlboro dah. Nah yang ini tembus 1 juta dollar Sukses terjual seharga $1,248,000 di New York, tepatnya Christie's Auction, November 2005 4. Georgia O'Keeffe (Hands) (1919) By: Alfred Stieglitz juga Ini foto seorang model, cuman tangannya doang Bisa ya terjual seharga $1,470,000 di New York, dasar orang amrik kaya kaya amat. 3. Nude (1925) By: Edward Weston terjual dengan harga $1,609,000 tahun 2008. 2. The Pond-Moonlight (1904) By: Edward Steichen Foto jaman dulu juga, jepretnya taun 1904. Tapi diliat lama2 serem juga yah 1. 99 Cent II Diptychon (2001) By: Andreas Gursky, Foto ini memecahkan rekor foto termahal sampai saat ini, terjual seharga $3,346,456 di pelelangan di bulan Februari 2007. Gilanya lagi boi, ini adalah print ke 3 ! Bukan yang perdana. Print pertama terjual seharga $2,250,000 pada bulan Mei 2006, dan print kedua terjual$2,480,000 pada bulan November 2006 Kirim Foto anda yg lebih menarik di sini ! |
Sekolah Mengemudi di Afghanistan Posted: 11 Sep 2011 09:24 AM PDT |
Asal Usul Penggunaan Jenis Huruf Times New Roman Posted: 11 Sep 2011 08:51 AM PDT Asal Usul Penggunaan Jenis Huruf Times New Roman-MENYEBUT Times New Roman, tentu banyak orang yang tahu. Jenis huruf ini digunakan sebagai standar huruf dalam dunia pengetikan. Keberadaannya dikenal luas oleh orang dari berbagai kalangan profesi. Namun, seberapa banyak di antara kita yang mengetahui sejarah penciptaan huruf jenis Times New Roman ini? Huruf ini dirancang oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama Stanley Morrison. Ia lahir pada tanggal 6 Mei 1889 di Wanstead, Inggris. Stanley tumbuh sebagai figur yang tidak memiliki pengetahuan tentang percetakan, namun di kemudian hari ia menempati banyak posisi penting di dunia tersebut. Pengetahuannya yang banyak dalam hal tipografi didapatkan sejak menjadi anggota percetakan The Pelican Press. Kecintaannya pada Tuhan membuatnya banyak membaca buku-buku religius, bahkan karya tipografinya yang pertama juga ditujukan untuk gereja. Setelah keluar dari The Pelican Press, ia bekerja untuk Cloister Press di Manchester. Banyak desain-desain terbaiknya dihasilkan saat ia bekerja di perusahaan ini. Lagi-lagi, karyanya banyak mencerminkan latar belakang gereja katolik, hal ini terlihat pada ilustrasi dan berbagai macam dekorasi yang ia gunakan. Karena ia sangat membenci perang, gerakan antiperangnya membuat ia sempat dipenjara selama empat tahun (1914-1918). Berawal dari Surat Kabar "Times" Selama kurang lebih 30 tahun (1929-1960) Stanley Morrison menjadi konsultan huruf untuk koran The Times di London, Inggris. Sebagai konsultan huruf, pada tahun 1931 ia mengatakan pada Times, "The Times merupakan koran yang telah memiliki pelanggannya sendiri, kita memerlukan sebuah huruf yang tidak sama dengan barang dagangan pada umumnya, huruf itu harus baik pada dasarnya, namun juga mencerminkan kekuatan dari garis, konsistensi, dan ekonomis bagi The Times". Karena kata-katanya itulah, 3 Oktober 1932 menjadi hari pemasaran jenis huruf "Times" ke khalayak ramai, karena pada hari itu untuk pertama kalinya koran The Times dicetak dengan menggunakan jenis huruf yang dinamai seperti koran itu sendiri. Stanley Morisson bukan satu-satunya orang yang berada di balik layar kesuksesan huruf tersebut. Ia juga dibantu temannya bernama Victor Lardent sebagai orang yang menggambar rancangan huruf ini. Huruf bernama Times ini dengan cepat menjadi sangat populer pada masa itu, banyak digunakan di koran, majalah, maupun buku laporan tahunan perusahaan. Huruf ini didaftarkan lisensinya ke The Monotype Corporation di Inggris, namun juga didaftarkan ke perusahaan lisensi Linotype di Amerika, karena koran The Times banyak mendaftarkan lisensi dari produk-produknya ke Linotype. Akhirnya, pada tahun 1945, The American Linotype Company mendaftarkan nama dagang "Times Roman" secara terpisah, bukan sebagai bagian dari The Times ataupun Monotype. Di sinilah terjadi perbedaan nama untuk penggunaan huruf ini dalam komputer. Linotype dan perusahaan-perusahaan di bawah lisensinya seperti Adobe dan Apple Macintosh menggunakan nama "Times Roman", sedangkan Monotype dengan perusahaan-perusahaan di bawah lisensinya seperti Microsoft menggunakan nama "Times New Roman". Pada era '80-an, Monotype mendesain ulang Times New Roman dan mengklaim bahwa huruf yang di desain ulang ini lebih baik daripada Times Roman yang dimiliki Linotype. Karena tidak mau kalah, pada periode waktu yang berdekatan, Adobe-Linotype juga meluncurkan seri baru dari huruf Times, yang tentu saja mereka mengklaim huruf yang baru juga lebih baik dibanding huruf milik Monotype. Pada kenyataannya, sebagian atau mungkin seluruh pengguna huruf ini tak akan menyadari atau bahkan tak akan mempermasalah kan perbedaan di antara keduanya walaupun huruf-huruf tersebut dicetak sangat jelas dengan ukuran 10 pt dalam resolusi tinggi 300 dpi. Lepas dari berbagai pertentangan di atas, terbukti bahwa Stanley Morrison telah berhasil menciptakan huruf yang baik dengan ciri khasnya tersendiri sehingga jenis huruf ini terus dikenang dan digunakan oleh banyak kalangan hingga saat ini. Ia meninggal pada 11 Oktober 1967 di London, Inggris. |
Beruang Ini Ternyata Penyuka Mobil Posted: 11 Sep 2011 04:26 AM PDT Beruang Ini Ternyata Penyuka Mobil: Seperti dilansir Contra Costa Times dan caradvice.com, Sabtu, 10 September 2011, adalah Brian McCarthy, warga setempat yang memarkir mobil Toyota Prius buatan 2002. "Tiba-tiba, sekitar pukul 03.30 dini hari (waktu setempat), seekor beruang masuk ke mobil dan berhasil duduk di belakang kemudi," kedua media itu menulis. Tak lama berselang, Beruang itu menyadari apa yang telah ia lakukan. Dia pun mulai gugup dan berusaha mencari jalan keluar dengan mencakar beberapa bagian kabin mobil itu. Saking paniknya, secara tak sengaja ia menyentuh tuas transmisi otomatis mobil, itu ke posisi 'N' alias netral. Tak pelak, mobil pun menggelinding. Karena posisi mobil di parkir di lintasan mendaki, maka mobil mengelinding ke belakang dan baru berhenti persis di depan teras rumah tetangga McCarthy. Mendengar suara gaduh MacCharty terbangun dan terperangah saat menyaksikan peristiwa itu. Ia pun menghubungi polisi. Beruntung, akibat benturan pintu bisa terbuka dan beruang pun kabur ke rerimbunan di sekitarnya. Petugas kepolisian yang datang ke lokasi dan melakukan olah peristiwa hanya mengaku bingung. "Beruang masuk ke mobil merupakan kejadian yang tak umum," kata salah seorang petugas. Dengan nada berseloroh, sang petugas menyebut beruang tersebut memang penyuka mobil. Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Posted: 11 Sep 2011 04:01 AM PDT Foto : Tha Sophat menyusu ke sapi (AP)KOAK ROKA- Seorang kakek di Kamboja menyatakan, cucunya menyusu dengan seekor sapi sejak orangtuanya pergi ke dari desanya untuk mencari nafkah. Um Oeung mengatakan, cucunya yang berusia 20 bulan Tha Sophat mulai menyusu dengan sapi pada Juli lalu, setelah Sophat melihat anak sapi menyusu pada induknya. Pertama-tama, Oeung menarik cucunya, namun lama kelamaan kakek itu menyerah ketika cucunya memprotes. Sophat pun menyusu kepada sapi selama satu atau dua kali sehari. Demikian seperti dikutip Associated Press, Sabtu (10/9/2011). Sophat hidup bersama kakeknya di Provinsi Siem Reap yang terletak di bagian utara Kamboja semenjak orangtuanya pergi ke Thailand untuk mencari pekerjaan. Oeung menatakan, sapi tersebut tampak tidak keberatan saat Sophat menyusu dengannya. Meski demikian Oeung sangat khawatir akan kesehatan cucunya yang menyusu dari sapi secara langsung. Karena di setiap susu sapi yang belum dimasak tentunya mengandung bakteri. Okezone | Realitycentre | Wisbenbae |
Posted: 11 Sep 2011 03:26 AM PDT Sejak tahun 2008 saya ingin mengunjungi Brunei Darussalam. Alasannya hanya karena jarang ada yang pergi ke sana dan penasaran seperti apa, karena tidak ada yang tahu. Akhirnya rasa penasaran itu terpenuhi pada bulan Desember 2010. Karena cukup mahal untuk terbang langsung dari dan ke Brunei, serta karena ingin mengeksplorasi Borneo bagian utara, saya memperluas rute perjalanan menjadi: Pontianak — Kuching (Malaysia) — Miri (Malaysia) — Brunei — Labuan (Malaysia) — Kota Kinabalu (Malaysia), dengan total durasi tujuh hari. Tiket pesawat pun sudah dipesan sebelumnya untuk rute Jakarta — Pontianak, Kuching — Miri, dan Kota Kinabalu — Jakarta. Mendekati hari-H, ternyata ada hal mendesak yang memaksa saya untuk menunda perjalanan sampai tanggal 22 dan mempersingkat lamanya menjadi lima hari saja. Saya harus mengganti rencana perjalanan dengan tiket Garuda Indonesia dan Air Asia yang sudah dibeli dengan biaya yang hampir sama dengan tiketnya. Tak apalah, daripada batal berangkat. Perjalanan ini juga menjadi perjalanan solo saya yang pertama, meski di awal tahun 2010 saya pernah ke Banjarmasin sendirian untuk melihat pasar terapung Lok Baintan. Namun, itu hanya semalam dan dilakukan ketika saya ditugaskan di Balikpapan. Cukup deg-degan juga, apakah akan terasa sepi dan apakah akan aman-aman saja. Tanggal 24 saya mengejar pesawat Garuda jam 6 pagi tujuan Pontianak. Sampai di Bandara Supadio saya langsung keluar untuk naik ojek ke pusat kota (Rp50.000). Di perjalanan, tukang ojek menawarkan untuk mengantar berkeliling. Setelah menawar, akhirnya saya setuju (Rp70.000). Saya diantarkan ke terminal bis Damri untuk memesan tiket bis ke Kuching, Malaysia nanti malam (Rp165.000), ke Tugu Khatulistiwa, ke rumah makan untuk mencoba Es Lidah Buaya (sangat menyegarkan!), dan ke Mesjid Jami. Ternyata, tukang ojek itu tidak membawa saya ke Mesjid Jami, dan malah membawa saya ke mesjid baru yang memang terbesar se-Pontianak. Dia juga lupa kalau hari itu hari Jumat dan harus shalat Jumat. Akhirnya dia meminta ongkos saat itu juga dan memutuskan segera mengantar saya pulang ke terminal bis Damri. Spontan saya marah karena perjanjian awalnya tidak begitu. Awalnya bahkan dia bilang setuju mengantar ke empat sampai lima tempat. Akhirnya saya mengalah dengan membayar tapi tetap minta diantar ke dermaga untuk naik sampan ke Mesjid Jami. Sebelumnya memang dia sudah mencoba untuk mengantar saya ke Keraton yang ternyata ada di samping Mesjid Jami. Namun, air pasang dan motor tidak bisa lewat. Sepanjang perjalanan dari bandara tadi memang banyak terlihat rumah dan ruko-ruko yang terendam air se-mata kaki. Sampan ke Mesjid Jami bertarif Rp10.000 pulang pergi dan di depan mesjid saya bertemu dengan anak-anak kecil yang sedang bermain dengan membentangkan sarungnya di atas kepala sehingga tertiup angin kencang. Mereka menghampiri saya dan terlihat penasaran dengan "abang dari Jakarta" ini. Ada satu kakak-beradik kelas 1 SD dan 2 SD yang lucu dan saya ngobrol dengan mereka selama 10 menit, sebelum mereka ikut shalat Jumat. Pada dasarnya masyarakat di Pontianak itu cukup baik dan santun, meski kesimpulan saya adalah semakin suatu kota ramai dengan turis, semakin banyak penipu yang memanfaatkan ketidaktahuan turis. Sebelas-duabelas seperti Ho Chi Minh City (Vietnam) dan Yogyakarta. Mesjid Jami sendiri adalah mesjid tua yang cukup menarik, tapi saya tidak masuk karena sedang ada shalat. Sekitar 200m dari mesjid ada Keraton Pontianak yang hanya berupa rumah kuno saja tapi cukup menarik dan ada benda-benda bersejarah seperti Kaca Seribu dan Al-Qur'an yang berumur dua abad! Perjalanan dilanjutkan dengan menumpang angkot Gajah Mada untuk kembali ke terminal Damri dan istirahat di lantai atas. Sekitar pukul empat saya mandi lalu naik ojek ke Jl. Pattimura yang ada banyak tempat jajannya. Es Nona patut dicoba di sini. Karena itu adalah malam Natal, maka saya sempatkan ke gereja terdekat yang dijaga banyak polisi, ditutup dengan makan malam di warung kopi "Tubrux" yang menyediakan koneksi internet nirkabel gratis. Pukul 10 malam bus saya baru berangkat setelah ditunda satu jam karena ada kemacetan. Saya sempat istirahat dulu di lantai atas dan berbincang-bincang dengan seorang supir bis asal Klaten dan penjaga warung asal Makassar. Perjalanan selama hampir sembilan jam itu saya lewati dengan tidur dan kondisi bus cukup nyaman dengan AC dan tempat duduk yang bisa direbahkan. Saya sampai di perbatasan Entikong jam 6 pagi di hari Natal. Proses imigrasi berjalan lambat karena hanya ada dua loket. Kita harus jalan sendiri ke gerbang perbatasan, lalu mengantri imigrasi lagi di sisi Malaysia. Sekitar jam 8 waktu setempat saya akhirnya tiba di Kuching dengan tanpa satu ringgit pun. Beruntung ada penukar mata uang asing di pujasera sebelah terminal. Saya langsung ke perhentian bis untuk mencari transportasi ke pusat kota. Ternyata di Kuching pun ada angkot berupa minivan. Saya memutuskan menaiki itu untuk ke daerah pasar. Setelah berjalan kaki memikul ransel ke Serawak Museum, saya mendapati museum itu tutup karena libur hari besar! Akhirnya saya langsung menuju waterfront dengan menumpang mobil seseorang yang menawarkan untuk mengantar ke sana. Waterfront Kuching cantik! Rindang, asri, sepi, dan terawat. Pada dasarnya selama 10 jam di Kuching saya hanya berputar-putar di sekeliling waterfront saja plus menaiki kapal berkeliling sungai bertarif RM19 (sekitar Rp55.000). Tak lengkap ke Malaysia tanpa icip teh tarik, maka saya sambangi After 2 Café untuk memesan satu gelas. Saya sempatkan juga membeli oleh-oleh di pusat kerajinan. Nasi Hainan menjadi makan siang saya. Sempat juga ke India Street tapi tidak beli apa-apa. Jam delapan malam saya harus meninggalkan Kuching untuk terbang ke Miri, meski belum puas. Mungkin suatu saat saya akan mengunjungi Kuching lagi. Miri adalah kota terakhir di Serawak sebelum Brunei. Tidak ada yang terlalu menarik dan kebanyakan turis hanya mampir untuk pergi ke Brunei atau ke Mulu National Park. Di Miri saya menginap di hostel (setelah melalui 2 kota tanpa menginap) bernama Highlands (RM25 per malam per orang, sekitar Rp70.000). Pemilik Highlands awalnya cukup galak ketika saya bilang ingin melihat kamar. Rupanya dia mengira saya ingin mengecek apakah ada kutu kasur atau tidak dan merasa tersinggung. Pagi-pagi saya ketinggalan bis menuju Brunei karena tidak menyangka bahwa bis berangkat jam 8 dari terminal jauh di luar kota, bukan terminal dalam kota. Untungnya owner hostel bilang bisa pakai mobil sewaan, pukul 11 (RM60/Rp180.000, kalau naik bis RM40/Rp110.000). Positifnya, saya jadi bisa keliling Miri dulu selama tiga jam. Saya sampai di Brunei pukul empat sore karena mobil sewaan yang dimaksud baru jalan pukul 12 dari Miri dan sepanjang jalan harus menjemput dan mengantar penumpang lain. Sebetulnya praktek ini ilegal namun sudah menjadi moda transportasi yang biasa untuk orang lokal. Brunei tidak semegah yang saya kira. Bahkan jalan menuju Bandar Seri Begawan rusak dan sepanjang jalan relatif tidak ada apa-apa. Saya diturunkan di Pusat Belia (Pusat "Pemuda") dan untung saja penjaga hostelnya sedang ada di tempat. Kondisi hostel kurang begitu terawat tapi masih memadai dan nyaman. Kamar saya (B$10/Rp70.000) seharusnya untuk empat orang namun malam itu satu kamar milik saya sendiri. Setelah menaruh tas, saya keluar untuk cari makanan. Panas sekali sore itu di Bandar Seri Begawan. Matahari menyengat. Sepi. Sangat sepi. Sebagai orang dari Jakarta yang sangat padat saya merasa aneh. Saya melewati beberapa restoran India dan Melayu namun kurang berselera. Akhirnya saya masuk ke Jolibee, sebuah restoran makanan cepat saji Filipina yang ada di mal dekat Mesjid Omar Ali. Ternyata, di Brunei memang ada banyak orang Filipina. Setelah itu baru saya masuk ke mesjid berkubah emas dan berpendingin udara 24 jam seminggu itu. Mesjid Omar Ali membuat orang ternganga ketika masuk ke dalam aulanya yang dingin. Sayang sekali dilarang memotret di dalam mesjid. Bagi yang ingin melihat memang harus datang sendiri ke sana. Waktu itu saya mengenakan celana pendek dan penjaga berkata saya harus memakai jubah juga jika ingin masuk. Alhasil, jadilah saya mengenakan jubah hitam semata-kaki itu seperti pengunjung perempuan! Setidaknya tidak disuruh pakai tudung… Dari mesjid saya jalan kaki ke Kampung Ayer, tempat tinggal warga Brunei yang memilih untuk hidup dengan cara tradisional dengan tinggal di rumah di atas air. Saya menyusuri jalan-jalan kayu di antara rumah-rumah dan sempat bermain juga dengan anak kecil di kampung itu. Anak kecil memang objek foto yang paling menarik! Satu lagi yang tidak boleh terlewat dari mengunjungi Kampung Ayer adalah keliling kampung dengan menggunakan taksi air alias perahu motor. Saat itu ada sepasang bule juga yang kemudian saya ajak untuk berbagi perahu. Setelah menawar akhirnya disepakati per orangnya B$5 (Rp35.000). Tukang perahu itu membawa keliling Kampung Ayer selama kira-kira 40 menit, termasuk sampai ke dekat Istana Sultan. Ada sekawanan burung yang terbang berputar-putar di atas kepala. Malamnya saya makan malam bersama sepasang bule tadi yang ternyata dari Belanda (berdasarkan pengalaman, saya hanya pernah bertemu turis bule asal Belanda, Jerman, Australia, dan Perancis). Mereka juga menginap di Pusat Belia dan sama-sama berencana untuk ke Kota Kinabalu besok. Saya pun meminta izin untuk bergabung dalam perjalanan itu. Setelah makan malam saya berpisah dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang keren dan buka 24 jam untuk mencari koneksi internet nirkabel dan juga untuk menonton pertandingan final AFF antara Indonesia dan Malaysia (Indonesia kalah 3-0, seperti semua Anda tahu). Minuman di sana ternyata mahal dan tidak enak. Mereka tidak punya alkohol karena alkohol dilarang di Brunei. Esok paginya saya sudah meninggalkan Pusat Belia pukul tujuh pagi dan pergi ke terminal bis untuk naik bis no. 37 (atau no. 38) menuju Muara (B$1/Rp7.000). Perjalanan bis di Brunei ini sangat menyenangkan karena supir bis mengenal semua orang dan menurunkan semua orang di tempat masing-masing tanpa perlu bilang apa-apa. Suasananya seperti keluarga. Saling tegur sapa dan bercanda. Bisnya pun meski sudah tua tetap nyaman dan dingin. Dari Muara saya harus naik bis lain lagi ke Serasa Ferry Terminal. Saat itu ada satu supir bis yang mau mengantar kita di sela-sela shift-nya, karena bis yang dimaksud belum datang. Mungkin dia tahu kita sudah telat lalu bersedia mengantar (B$1 juga per orang). Jadilah tiga orang diantar menggunakan satu bis besar! Serasa Ferry Terminal pun sepi dan untungnya saya belum telat. Perjalanan ke Labuan memakan waktu satu jam, lalu transit di Labuan selama tiga jam (sempat makan siang dan foto-foto juga, meski tidak terlalu ada yang menarik), lalu berangkat lagi ke Kota Kinabalu, menempuh waktu selama tiga jam. Sampai di Kota Kinabalu sudah pukul empat sore. Jesselton Point Ferry Terminal sangat menarik dan santai. Sepertinya menyenangkan melihat matahari terbenam di sana sambil minum teh. Setelah berputar-putar di kota, saya memutuskan untuk menginap di Hotel Capital (RM130/Rp370.000), karena sedang ingin memanjakan diri setelah satu malam di bis dan dua malam di hostel. Kota Kinabalu punya atmosfer yang sedikit seperti Bali meski tidak se-menyenangkan Bali! Waterfront-nya menarik dan ada bagian khusus untuk warung-warung penjual makanan seperti ikan bakar, barbeque, es buah, dan lain sebagainya. Suasananya lebih seperti di Indonesia dibanding seperti di Penang misalnya. Setelah tidur cukup di hotel, jam delapan pagi saya keluar mencari sarapan, karena hotel itu tidak menyediakan sarapan! Syukurlah di samping hotel ada pujasera semacam kopitiam yang enak dan saya pesan mi goreng, secangkir kopi dan tidak lupa sebungkus bakpau juga di jalan pulang. Saya jalan kaki ke Sabah Museum selama kurang lebih 40 menit, sambil melihat-lihat dan mengambil gambar. Saya sarankan untuk naik bis ke Wawasan Plaza, dan lanjut lagi bis no. 13 ke museum, masing-masing RM0.50 (Rp1.400). Sabah Museum (RM8/Rp22.000) biasa saja, namun Heritage Village-nya bagus, meski tidak sebesar Taman Mini Indonesia Indah. Hutan tanaman obat-obatannya juga menarik. Museum itu memang sangat luas dan memiliki hutan sendiri. Sore harinya sewaktu saya berencana untuk ke pusat kerajinan dan ke pasar ikan, hujan turun dengan lebatnya. Sayang sekali. Hujan tidak berhenti juga sampai saat-saat saya harus mengejar pesawat untuk pulang ke Jakarta. Padahal saya ingin sekali melihat matahari tenggelam di waterfront. Saya sempat menunggu bis untuk ke bandara namun bisnya tidak kunjung datang. Daripada ketinggalan pesawat, akhirnya taksi pun dipanggil (RM25/Rp70.000). Ini hal yang paling tidak enak dari berkelana sendirian: membayar ongkos taksi sendiri. Saya akhiri lima hari perjalanan singkat ini di Kota Kinabalu. Berikutnya, ada keinginan mendaki Gunung Kinabalu. Semoga terwujud! |
Posted: 11 Sep 2011 03:16 AM PDT Suatu pagi di bulan Juli. Pak Adi tampak gagah dengan pakaian melautnya; kaos lengan panjang berkerah, celana training, dan sepatu boot. Beliau berjalan menyusuri jalan setapak menuju dermaga nelayan tradisional Teluk Karang. Saya dan Fajar mengekor di belakang karena pagi itu kami akan ikut melaut, menemani Pak Adi menjaring lobster. Pak Adi adalah salah satu dari sekian banyak nelayan pemburu udang raksasa di Teluk Karang, Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan. Di usia paruh bayanya beliau masih kuat melaut setiap pagi demi beberapa kilogram lobster. Biasanya Pak Adi ke dermaga mengendarai motor Jupiter MX kesayangannya. Namun karena hari ini kami ikut, beliau rela berjalan kaki. "Perahu yang agak besar itu punya Lung Madi," ujar Pak Adi ketika kami tiba di dermaga. Lung, bagi masyarakat Melayu Singkawang, merupakan panggilan terhadap orang yang dihormati. "Perahu saya yang itu." Perahu bermotor tempel Pak Adi panjangnya hanya sekitar tiga meter dan berwarna hijau pupus. Bagian haluannya dilukis membentuk kepala ikan hiu, dengan mata dan gigi yang sama tajamnya. Mesin tempelnya, tentu saja, berada di buritan. "Airnya kita pompa dulu, baru kemudian kita melaut." Pak Adi mengeluarkan sebuah pompa air paralon dari buritan. Sementara beliau memompa, saya dan Fajar membantu menimba air dengan botol bekas oli mesin. Sebentar kemudian air yang menggenangi dek sudah kering. Tambatan sudah dilepas dan kami siap untuk melaut. Kami bertiga mendorong perahu kecil itu ke laut, lalu melompat ke atasnya. Setelah agak jauh dari dermaga barulah mesin dinyalakan dan perahu meluncur santai di laut yang tenang. Pemandangan pagi itu sungguh mengagumkan. Matahari baru saja muncul dari cakrawala, menyinari deretan batu granit raksasa yang memagari pesisir Teluk Karang dengan semburat jingga. "Itu namanya Batu Peringgi," kata Pak Adi sambil menunjuk sebuah batu besar seperti labu. Di dekat batu peringgi beberapa orang bercaping tampak sibuk melakukan sesuatu. "Mereka sedang mencari udang kecil," jelas Pak Adi tanpa diminta. Perahu terus meluncur. Batu Burung sudah terlewati dan sebentar lagi kami akan memapas Pulau Simping, pulau terkecil di dunia yang telah diakui PBB. Pulau Simping berada dalam kawasan Sinka Island Park yang dikelola oleh pihak swasta. Kawasan wisata ini komplit; ada pantai, kolam renang, taman Rindu Alam di puncak Gunung Kote, dan kebun binatang Sinka Zoo. Di sebelah daratan, lereng Gunung Lapis tampak masih diselimuti kabut tipis sehingga obyek wisata Rindu Alam seolah-olah berada di atas awan. Namun ada sesuatu yang aneh. Sampai saat itu saya belum melihat satu pun instrumen penangkap lobster. Penasaran, saya bertanya pada Pak Adi. Beliau lalu menjawab, "Cara menangkap lobster berbeda dengan menangkap ikan. Lobster ditangkap pakai labuh, jaring. Labuh ditaruh di laut, dibiarkan di sana, waktu melaut pagi-pagi begini labuh diangkat. Nanti lobsternya terperangkap di sana." Saya dan Fajar manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Tidak disangka-sangka pagi itu kami dapat banyak sekali ilmu dan pengalaman baru. Ketika kami sedang asyik berfoto-foto, tiba-tiba Pak Adi memelankan laju perahu. "Nah, kita sudah sampai," ujarnya. Sejurus kemudian beliau sudah sibuk menarik-narik dan memeriksa labuh. Perahu kecil itu bergerak pelan seiring tarikan demi tarikan. Agak jauh ke tengah laut, kapal-kapal pukat tarik berseliweran dengan berisik. Tadi Pak Adi sempat menyinggung soal keresahan nelayan tradisional terhadap eksistensi kapal pukat tarik tersebut. Pukat tarik merusak ekosistem laut karena sistemnya "hajar bleh!", semua diembat. Beliau juga menambahkan bahwa kapal-kapal tersebut kebanyakan bukan dari Teluk Karang, "Mereka dari kampung yang jauh di selatan sana." Di labuh pertama hanya ada satu ekor lobster. Selebihnya hanya laba-laba laut, kepiting, ikan, tengkuyung, dan bulu babi yang terjaring. Kemudian kami meluncur ke labuh kedua. Labuh kedua sedikit lebih baik, dapat dua ekor lobster. Kami diajari Pak Adi cara melepaskan lobster dari labuh. Triknya sederhana; cukup pegang punggungnya dan lepaskan tubuhnya dari jaring dengan lembut. Ekornya akan menggelepar-gelepar, tapi jika kau memegangnya dengan benar tidak akan sampai melukai tanganmu. Peruntungan kembali memburuk di labuh ketiga, cuma dapat satu ekor. "Beginilah hidup nelayan. Kadang dapat banyak, kadang sedikit, kadang nggak dapat sama sekali," jelas Pak Adi ketika mendapati muka kecewa kami karena tangkapan hari itu hanya sedikit. "Udangnya kita taruh di laut saja dulu. Jualnya sekalian saja sama tangkapan besok." Biasanya, jika cuaca bagus, dalam sehari Pak Adi bisa membawa pulang sekitar 2 kg lobster. Per kilogramnya dihargai sekitar Rp. 50,000. "Rekor saya 32 kg," dengan senyum bangga beliau berkata. "Waktu itu saya sampai kesusahan membawanya pulang." Selain kenangan gembira itu Pak Adi juga pernah punya pengalaman buruk selama melaut. Beberapa tahun yang lalu, ketika istrinya ikut melaut, perahu kecil itu oleng, terbalik, kemudian tenggelam. Untung beberapa orang nelayan yang kebetulan sedang nongkrong di pantai melihatnya lalu bergegas menolong. Perahu dan istri beliau berhasil diselamatkan. Ketika pantulan cahaya matahari sudah mulai membutakan, kami meluncur kembali ke daratan. Usai sudah perburuan lobster hari ini. Tiba-tiba saya teringat kisah "The Old Man and The Sea" karya Ernest Hemingway. Pak Adi persis seperti si orang tua, melaut sendiri setiap hari tanpa ada kawan yang menemani. http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/Dde8YDMD85w/memburu-udang-raksasa |
Posted: 11 Sep 2011 03:15 AM PDT Marienplatz Town Hall, foto oleh Jimmy Syahirsyah Munich atau Munchen berasal dari kata "Munch" yang berarti biksu atau pendeta. Satu fakta yang menarik dari kota ini adalah bir. Bukan dari rasa saja, namun dari sejarah dibalik pembuatannya. Ketika orang-orang Eropa bermigrasi ke Munich untuk belajar teologi, kota ini dipenuhi para pendeta/calon pendeta. Bahkan penentuan lokasi pembangunan gedung-gedung di pusat kota disesuaikan dengan letak gereja terbesar di sana. Sebagai calon pendeta, hal-hal yang berbau duniawi tentu saja dilarang, kecuali minum bir. Para calon pendeta ini kemudian menciptakan bir mereka masing-masing dan diberi nama sesuai dengan "pemimpin" mereka. Paulaner untuk pengikut Santo Paul dan Agustiner untuk pengikut Santo Agustin. (Paulaner Brauhaus bisa ditemui di East Mall Grand Indonesia, Jakarta). Sampai sekarang, baik Paulaner maupun Agustiner merajai pasar bir di Munich. Di pusat kota Munich, Marienplatz, restoran khas Bavaria, Agustiner, menggunakan gedung bekas seminari masih lengkap dengan patung-patung kayu malaikat. Saya ditemani seorang wartawan kenalan saya, Sonja Gibis. Dialah yang menceritakan kisah di balik restoran tersebut. Foto oleh Dita Ramadhani Sebagai sebuah kota, Munich merupakan kota tua yang sangat rapi dan "berkelas". Bayangkan saja betapa kagetnya saya ketika naik taksi Toyota hybrid Prius. Di Indonesia yang punya mobil ini masih sangat jarang. Di sana armada taksi menggunakan mobil-mobil mewah keluaran VW, Mercedes, BMW dan Volvo. Nyaman? Pasti! Satu pengalaman menarik yang saya dapati di kota Munich adalah "para peselancar" sungai. Di Eisbach, sebelah Haus der Kunst ada sebuah jembatan yang dilewati sungai buatan. Entah tahun berapa sebuah bendungan dibangun. Akibat aliran sungai yang deras, bendungan itu menjadi semacam tembok yang membuat air sungai "terbentur" dan kembali ke arah air datang. Di titik inilah, orang-orang mulai mendapat ide untuk berselancar di sungai. Yang lebih gila lagi, suhu air sungai tersebut bisa mencapai empat derajat celcius atau lebih rendah dari itu. Para peselancar wajib menutupi seluruh bagian badan mereka. Pegunungan Alpen, foto oleh Jimmy Syahirsyah Selain menjelalah kota Munich dan beberapa museum seperti Alte Pinakhotek dan Pinakhotek der Moderne, saya menyempatkan diri ke Mittenwald, sebuah kota perbatasan Jerman dan Swiss. Yang menarik di sana tentu saja pegunungan Alpen. Waktu kecil salah satu buku favorit saya adalah Heidy dari Alpen. Saya selalu membayangkan pegunungan Alpen yang dingin, penuh domba, rerumputan, serta bunga-bunga kecil. Citra pegunungan Alpen begitu identik dengan salju dan dingin. Ketika saya berkunjung ke sana, Alpen masih hijau, hanya puncak-puncaknya yang mulai memutih oleh salju. Hari Gereja, foto oleh Jimmy Syahirsyah Udara hari itu cukup hangat. Yang saya sayangkan saya datang di hari gereja. Kota itu sepi, hampir semua toko dan restoran tutup, penduduk berada di gereja untuk berdoa meminta kebaikan untuk keluarga atau kenalan mereka yang sudah tiada. Saya tidak patah semangat dan tetap berjalan ke atas, berharap kantor turis dan kereta gantung beroperasi. Sesampainya di atas, parkiran kantor penuh mobil, namun kereta gantung tidak bergerak. Ada alur jalan ke atas untuk para wisatawan yang ingin melanjutkan ke sisi yang lebih tinggi. Tapi saya tidak mencoba naik karena harus mengejar kereta pulang ke Munich yang memakan waktu hampir 3 jam. Jadi, yang saya lakukan adalah duduk-duduk memandang ke bawah. Melihat penduduk kota yang berpakaian serba hitam khusus hari itu, berkumpul di town hall dan berdoa. Pemandangan yang langka bagi saya. Satu catatan penting jika berpegian ke Munich: urus multiple schengen visa! Dari Munich, Anda bisa ke Italia dengan kereta selama tiga jam dan Austria satu jam saja. Saya harus cukup puas dengan visa single entry dan melihat kemungkinan jalan-jalan menarik di luar kota Munich tapi tetap berada di dalam Jerman. Sebelum pulang ke tanah air, saya memutuskan ikut tur ke kastil Neuschwanstein di Schwangau. Kastil inilah yang menginspirasikan Walt Disney menciptakan kastil Putri Tidur Aurora atau Kastil "Disney" yang selalu kita lihat di setiap film dan publikasi keluaran Disney. Saya tetap semangat menjelajah kastil meskipun hujan gerimis dan berkabut sepanjang hari. Ludwig II, raja yang memerintahkan pembuatan kastil tersebut adalah seorang eksentrik, individualis, homoseksual, dan kematiannya masih menjadi misteri hingga kini. Kata teman jurnalis saya yang asli warga Munich, dibandingkan kastil lain di Eropa, Neuschwanstein adalah kastil "maksa". Kastil ini dibangun saat Bavaria sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga banyak memakai materi bangunan berkualitas menengah dan rendah. Ludwig II ingin mempersembahkan Neuschwanstein untuk teman baik sekaligus komposer terkenal asal Jerman, Richard Wagner. Ludwig II seorang pecinta opera. Cerita yang paling disukainya adalah Tristan dan Isolde (kisah cinta tragis yang mirip Romeo dan Juliet). Di kamar tidur sang raja ada mural yang bercerita mengenai Tristan dan Isolde dari awal hingga akhir cerita. Dia memiliki satu ruangan opera di dalam kastil. Penyanyi opera saat itu umumnya bertubuh besar dan subur. Sang raja menganggap hal itu tidak indah. Dia selalu memerintahkan penyanyi opera tidak beraksi di atas panggung. Mereka harus menyanyi dari balik layar atau sisi lain yang tertutup. Ludwig II juga tidak suka bertemu orang lain. Dia membuat sistem meja makan mekanik yang memungkinkan meja berisi makanan lengkap bisa ditarik muncul ke kamar tidurnya lewat lantai kamar. Sayang para pengunjung tidak diperkenankan memotret bagian dalam kastil, tidak ada gambar untuk memperlihatkannya. Disunting oleh ARW 08/02/2011 |
Hooded Pitohui : Satu2nya Burung Beracun di Dunia Posted: 11 Sep 2011 03:06 AM PDT Hooded Pitohui ditemukan di Papua Nugini, pertahanan mereka terhadap pemangsa yang walaupun sederhana tapi menakjubkan adalah mereka beracun. Pitohui memakan beberapa jenis kumbang yang mengandung neurotoxin kuat dan mengandung alkaloid yang dikenal sebagai batrachotoxin (racun yang juga ditemukan pada kulit dari racun katak panah Amerika Selatan). Dengan makan kumbang, burung-burung menjadi beracun, toksin mereka terdapat pada bulu mereka sendiri dan kulit. Mereka benar-benar dikenal oleh penduduk setempat sebagai "burung sampah", karena toksisitasnya membuat tidak mungkin untuk dimakan kecuali kulit dan bulu mereka dicabut. Menyentuh Hooded Pitohui dapat menyebabkan mati rasa dan kesemutan, kulit terbakar dan bersin (seperti yang dilaporkan oleh para ilmuwan yang menangani makhluk itu), sedangkan memakan mereka mungkin akan jauh lebih berbahaya. Untuk memperingatkan sifat toksisitasnya, burung ini memiliki warna terang oranye dan warna hitam yang memungkinkan calon predator untuk mengenalinya. Dan diyakini bahwa Hooded Pitohuis dapat menggosok toksin pada telur dan anaknya untuk melindungi mereka dari predator. Menurut XiMAD... Hooded Pitohui adalah satu-satunya burung di dunia yang memiliki racun. Kirim Burung anda yg lebih menarik di sini ! |
Canggih.. Jaket Sentuhan Jarak Jauh Buatan Jepang Posted: 11 Sep 2011 03:02 AM PDT Sense-Roid yang sedang dikembangkan oleh Kajimoto Laboratory adalah sebuah jaket yang dilengkapi dengan vibrator dan haptic feedback motors (semacam sensor untuk merasakan sentuhan yang biasa ada di ponsel layar sentuh). Jaket ini terdiri dari 2 pasang dimana satu jaket akan dikenakan di tubuh anda dan satu lagi dipasang di sebuah manekin (boneka). Ketika kekasih anda memeluk boneka ini maka semua sensor yang aktif akan ditransfer ke jaket yang anda gunakan sehingga anda akan merasakan pelukan dari kekasih anda yang sebenarnya berada jauh entah dimana.Tidak sekedar memeluk saja tetapi ketika kekasih anda mengelus pun anda akan merasakan elusan dari si dia. |
Posted: 11 Sep 2011 02:59 AM PDT Inilah Sepatu Masa Depan NIKE-Masih ingat trilogi film "Back To The Future"? Film fiksi ilmiah tahun 80-an yang dibintangi Michael J. Fox ini menjadi salah satu film yang paling ikonik dalam menggambarkan masa depan. Perusahaan pembuat sepatu Nike, kemudian berusaha mewujudkan sepatu masa depan yang digunakan Marty McFly Jr. dalam film "Back To The Future II", Nike Mag. Seperti dikutip dari TechCrunch, Sepatu Nike Mag ini akan dilelang di situs lelang online, eBay. Tak seperti filmnya, tali sepatu ini tidak bisa dikencangkan secara otomatis saat kaki sudah masuk ke dalam sepatu. Tapi, Nike sudah mempatenkan tali otomatis pada 2010 silam. Sepatu Nike Mag ini hanya akan diproduksi sebanyak 1.500 pasang, yang akan meningkat sesuai permintaan. Rencananya, keuntungan dari penjualan sepatu ini akan disumbangkan untuk Yayasan Riset Penyakit Parkinson yang dimiliki Michael J. Fox. Awalnya, keberadaan Nike Mag diketahui dari wawancara EA Sports dengan Tinker Hatfield, salah satu desainer terkemuka yang dimiliki Nike yang merancang Nike Air Jordan. Saat itu, Hatfield diwawancarai mengenai masa depan yang dimiliki Nike, salah satunya dengan merealisasikan sepatu yang ada di film "Back To The Future II" itu. Hetfield pun memperlihatkan wujud Nike Mag yang sudah dibuat oleh Nike. Nike juga sudah membuat sejumlah iklan televisi untuk produk Nike Mag. Salah satu iklan bahkan menghadirkan Doctor Emmet Brown, karakter yang dimainkan Christopher Lloyd di film "Back To The Future". Dalam iklan Nike Mag, Doc Brown digambarkan 'nyasar' di tahun 2011 karena seorang pegawai Nike memperlihatkan sepatu Nike Mag kepada seorang pelanggan. Ketika itu, Doc Brown ingin menuju tahun 2015, saat sepatu di film "Back To The Future" diluncurkan. Dalam film, Doc Brown dan Marty McFly memang menemui anak Marty, Marty McFly Jr, di tahun 2015 untuk menyelamatkan kehidupan Marty di masa depan. Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Posted: 11 Sep 2011 02:53 AM PDT Pengantin wanita Jawa Timur tahun 1920-an Foto di atas yang diterbitkan oleh Tosari Studio dari Surabaya ini memperlihatkan seorang pengantin wanita naik kuda. Ayahnya menuntun kuda dengan banyak hiasan. Sang pengantin wanita akan bertemu dengan pengantin pria. Di belakangnya ada orang yang membawa payung besar. Anak-anak di sebelah kiri mengantar pengantin wanita dengan membawa sejenis payung kecil berbahan daun. Anak-anak di sebelah kanan merupakan rombongan "marching band", mereka memainkan suling dan gendang. Pasangan pengantin Kraton Jogyakarta tahun 1900-an. Foto di atas yang diterbitkan oleh toko barang kesenian J. Sigrist dari Jogja ini berjudul: "Javaansche Bruid en Bruidegom – Temanten laki en prampoean di poelo Djawa". Gambar memperlihatkan pasangan pengantin dari kraton Jogjakarta yang berpose untuk fotografer sedang duduk bersila di karpet. Pasangan ningrat ini memakai baju pernikahan khas keraton Jogjakarta. Dua-duanya memakai gelang emas berkepala naga di lengannya. Hiasan yang dipakai pada dadanya adalah kalung dengan 3 benda emas yang disebut tanggalan. Mereka memakai perhiasan telinga yang disebut sumping. Sumping tersebut berbentuk seperti gambar sayap dan berbahan kulit yang dicat dengan warna keemasan. Topi yang dipakai oleh pengantin pria yang mirip pot bunga disebut kuluk. Kuluk ini berbahan kaca. Corak batik yang dipakai sungguh unik. Pengantin wanita berbaju dodotan (pakaian adat Jawa dari kain batik atau cindai panjang dan lebar) dan gelung bokornya sebagai motif hiasan kepala, dengan hiasan kepala khusus yang berjumbai bulu burung kasuari, gelung berhiaskan bunga dan jebehan. Jadi bunga ada di kepala wanita sedangkan "pot bunga" (kuluk) ada di kepala pria. Kirim foto Pengantin anda yg lebih menarik di sini ! |
Posted: 11 Sep 2011 02:50 AM PDT ni cewek cewek lagi ngapain yak ??? Kirim Cewek anda yg lebih menarik di sini ! |
Posted: 11 Sep 2011 02:46 AM PDT Aksi yang aneh dan nyeleneh, mungkin Anda akan katakan aksi orang ini sebagai aksi orang gila, dia menyebutnya dengan aksi gerakan mencium kentut, coba Anda perhatikan apa yang dilakukannya paa setiap wanita yang lewat dan berkenan untuk dicium bokongnya dan berharap si pria aneh ini dapat mencium kentut si obyek, aktivis ini berasal dari Partai Sosial Kemanusiaan. Belum jelas apa maksud dari aksinya ini |
Posted: 11 Sep 2011 02:38 AM PDT Tentu saja sebagian besar dari klain pasti mengenal tokoh2 pewayangan seperti bima, arjuna atau hanoman. jika mereka biasa tampil di sebuah pementasan wayang kulit atau wayang orang. maka kali ini apasih.com menemukan mereka dengan penampilan yang berbeda yaitu, berpenampilan seperti robot. seperti yang dibawah ini. 1. Bima 2. Gatotkaca 3. Hanoman 4. Arjuna 5. Semar 6. Petruk,Gareng,Cepot (Punakawan) 7. Nakula dan Sadewa 8. Jatayu 9. Rahwana 10. Dvarapala Nah,dari ke sepuluh tokoh wayang dalam bentuk robot yang wisbenbae hadirkan diatas, yang mana menurut kalian paling keren.. share di komentar ya :) |
Peluncuran ROKET NASA ke bulan Posted: 11 Sep 2011 02:37 AM PDT |
Heboh !! Penemuan Logam Aneh yang Diduga Sebagai Alat Pendaratan UFO Posted: 10 Sep 2011 11:51 PM PDT Heboh !! Penemuan Logam Aneh yang Diduga Sebagai Alat Pendaratan UFO,Pada tahun 1974, di Rumania, 2 kilometer sebelah timur Aiud, sekelompok pekerja di tepi sungai Mures, menemukan tiga benda terkubur di pasir, di sebuah parit sekitar 10 meter dalamnya. Dua dari objek, dibuktikan sebagai tulang Mastodon, berumur beberapa jutaan tahun, antara periode Miosen dan Pleistosen. Objek ketiga, blok logam yang memiliki kemiripan dengan kepala palu, dikirim untuk diteliti di lembaga arkeologi Cluj-Napoca. Setelah diperiksa, obyek ini mempunyai ukuran panjang 20,2 cm, lebar 12,5 cm dan tinggi 7 cm. Dan saat itu juga langsung menyulut perdebatan dalam komunitas ilmiah. Florin Gheorghita, memiliki kesempatan untuk memeriksa laporan, dan analisis dilakukan di bawah arahan Dr.Niederkorn lembaga untuk studi logam dan mineral non-logam (ICPMMN), terletak di Magurele, Rumania, menekankan bahwa benda ini terdiri dari paduan logam yang sangat kompleks. Gheorghita menegaskan bahwa benda ini terdiri dari paduan 12 elemen yang berbeda, yang telah berhasil dianalisa persentase volumetriknya, yaitu terdiri dari aluminium (89%), tembaga (6,2%), silikon (2,84%), seng (1,81%), timbal (0,41%), tambak (0,33%), zirkonium (0,2 %), kadmium (0,11%), nikel (0,0024%), kobalt (0,0023%), bismut (0,0003%), perak (0,0002%), dan gallium (dalam jumlah jejak) . Mircea Aries dan Petrus Lab, dua wartawan dan peneliti Rumania, menegaskan bahwa hasil yang sama diperoleh di lembaga penelitian di Lausanne, Swiss. Fakta bahwa benda logam aneh ini ditemukan bersama-sama dengan fosil yang sangat kuno (tulang mastodon) menyebabkan orang bertanya-tanya dan menimbulkan banyak keanehan. Aluminium, hanya bisa dihasilkan di lab dan tidak ditemukan bebas di alam, tapi dikombinasikan dengan mineral lain dan hanya dalam 100 tahun terakhir atau lebih, manusia baru bisa memiliki teknologi untuk membuat aluminium. Selain itu, benda berbentuk "kaki" aneh ini ditutupi dengan lapisan oksida lebih dari satu milimeter, yang menguatkan dugaan bahwa usia benda ini setidaknya ratusan tahun Para ilmuwan Rumania mulai membentuk beberapa hipotesis. Ada satu yang tampaknya lebih menarik daripada yang lain. Seorang insinyur aeronautika, memperkirakan bahwa benda itu mirip dengan kaki sebuah perangkat pendaratan semacam kendaraan terbang, dengan dimensi lebih kecil seperti modul lunar atau probe Viking. Dalam konfirmasi untuk mendukung teori ini di luar bentuk objek, adalah dua lubang oval, dan goresan di dalamnya di bagian belakang dan sudut, seperti komposisi bahan yang sama, serta komposisi dari aluminium ringan. Peneliti lain menegaskan bahwa kemungkinan benda itu dibuat di Bumi dan merupakan bagian dari alat.yang kegunaannya belum diketahui. Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Menjadi Orang Danau di Kashmir Posted: 10 Sep 2011 10:49 PM PDT Saat saya terbangun pada pagi pertama saya di Dal Lake yang terletak di negara bagian Kashmir, saya merasa seperti berada di rumah di Jakarta. Saya mendengar suara adzan subuh bersahut-sahutan di danau. Bedanya, danau tersebut baru sepi kembali setelah pukul enam pagi. Seiring matahari menampakkan diri, kecantikan gunung Himalaya yang berpucuk salju pun mulai terlihat. Di antara kami berempat, saya mungkin yang paling tidak banyak tidur selama tinggal di Dal Lake, danau kedua terbesar di Srinagar, ibukota musim panas untuk negara bagian India paling utara, Kashmir. Walaupun suhu di luar sangat dingin untuk saya yang biasa hidup di negara tropis, saya selalu bangun paling pagi dan tidur paling malam. Saya sangat menikmati duduk di teras depan, menonton langit berubah warna dan warga danau yang lalu lalang dengan perahu tradisional mereka, shikara. Kalau berkunjung ke Kashmir, tinggal di rumah perahu adalah pengalaman unik yang harus dicoba. Di Dal Lake, ada sekitar 500 keluarga yang tinggal di atas rumah perahu (houseboat). Setiap rumah perahu sudah dipalang sedemikian rupa sehingga tidak akan bergoyang kalau kita berjalan-jalan di atasnya. Memang, ruang gerak jadi terbatas karena kita tidak bisa melangkah kaki keluar begitu saja untuk jalan-jalan. Namun lokasi Dal Lake yang dikelilingi pegunungan Himalaya membuat betah untuk diam berlama-lama. Biaya penginapannya juga tidak mahal. Ketika saya menginap dua malam di sana, saya hanya membayar Rs. 4000 (sekitar Rp800.000). Biaya ini termasuk makan pagi, makan malam, dan tur sehari ke tujuan pilihan. Karena mereka sudah sekian lama tinggal di danau, unit-unit kecil masyarakat pun sudah terbentuk untuk mempermudah kehidupan mereka. Inilah warna kehidupan orang danau. Mereka tidak harus pergi ke kota untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dari pasar apung, toko obat, warung sampai bank, semuanya lewat di depan rumah perahu tempat kami tinggal. Setiap rumah perahu di Dal Lake punya nama, mulai dari "Morning Glory" hingga "Bob Marley". Rumah perahu pilihan kami kebetulan punya nama yang sederhana, "Bul-Bul", sesederhana hidup keluarga Ahmad yang mengurusnya. Walaupun sederhana, nama itu cukup berkesan untuk saya, karena di Kashmir inilah kali pertama saya melihat burung Bul-Bul yang mungil dan memiliki jambul melengkung di kepalanya. Kashmir adalah negara bagian dengan mayoritas Muslim terbanyak di India. Di India, nama negara bagian ini dikenal sebagai Jammu dan Kashmir, jadi jangan bingung kalau kamu akan sering melihat akronim J&K di sekitar kota Srinagar. Orang-orang yang saya temui menyebut diri mereka orang Kashmir (Kashmiri), bukan India (Indian). Mayoritas Muslim di Kashmir menjunjung tinggi budaya Sufi, menjadikan kehidupan sehari-hari mereka damai. Walau begitu, saya menangkap adanya kegelisahan seiring krisis politik yang kerap melanda daerah ini. Sampai saat ini, Kashmir menjadi wilayah sengketa antara India dan Pakistan. Wajah cantik Kashmir menyimpan banyak konflik berdarah yang puncaknya terjadi pada tahun 1990, dimana terjadi kerusuhan dan serangan bom oleh pemerintahan India. Tahun lalu, Kashmir mendapat peraturan jam malam dari pemerintah India karena banyaknya demonstrasi dan peledakan bom oleh gerakan separatis di beberapa kota kecil di sekitar lembah tersebut. Selama enam bulan, kondisi industri pariwisata di Srinagar menurun drastis karena tidak ada turis. Anak lelaki tertua keluarga Ahmad kemudian pindah keluar kota untuk menjalankan bisnis lain. Menurut keluarga Ahmad, saat ini bisnis pariwisata sudah mulai bangkit semenjak peraturan tersebut dicabut bulan Januari lalu. Namun saya sendiri jarang sekali melihat turis di seputar Srinagar. Mungkin banyak yang menganggap lokasi tersebut tidak aman. Bahkan ketika kami baru mendarat di bandara internasional Srinagar, suasana cukup terasa tegang karena bandara dan jalan utama dijaga ketat oleh tentara India. Karena lokasinya yang berada di kaki Himalaya, Kashmir menyimpan potensi pariwisata yang unik dari wilayah-wilayah lain di India. Di Srinagar sendiri, ada empat taman cantik warisan pemerintahan Mughal yang menguasai India sejak 1526 selama lima abad. Di taman Chesmashahi, ada mata air pegunungan yang dulu dianggap suci. Dari taman Nishat dan Shalimar, kita bisa melihat Dal Lake dari atas karena lokasinya di lansekap bukit. Yang paling unik adalah Tulip Garden, yang hanya dibuka ketika tulip berkembang setiap bulan Juni selama lima belas hari setiap tahunnya. Ada juga situs-situs suci yang menjadi kebanggaan orang Srinagar. Salah satunya adalah masjid putih Hazratbal yang terletak di pinggir Dal Lake. Masjid ini dibuat sebagai tempat penyimpanan janggut nabi Muhammad. Saya sempat mengunjungi masjid tersebut. Awalnya, saya tertegun melihat pintu masuk masjid yang dijaga tentara. "Why do they guard the mosque?" tanya saya kepada seorang penduduk Dal Lake yang juga teman baru saya. "Craziness." jawabnya. Sebagai orang Muslim, menjadi bagian dari umat minoritas adalah hal yang baru untuk saya, dan ini adalah pengalaman berharga yang saya dapat di Srinagar. Walaupun dijaga ketat, semua orang tetap bisa keluar masuk dengan leluasa. Saya sempat sedih ketika melihat larangan perempuan masuk ke dalam masjid. Namun ternyata, ada bagian khusus yang dibangun untuk perempuan, jadi bukan dipisah oleh hamparan kain seperti masjid umumnya di Jakarta. Bahkan ketika pukul sepuluh pagi, banyak yang mengunjungi masjid ini untuk beribadah. Beberapa di antara mereka duduk di atas rumput halaman masjid untuk shalat dan berdoa. Saya pun ikut-ikutan duduk di rumput. Tanahnya dingin dan bersih. Karena lokasinya di pinggir danau, suasananya sangat tenang. Rasanya damai sekali dan tidak ingin pergi. Dan yang jelas, saya bisa merasakan atmosfir kecintaan terhadap Islam yang sangat tebal. Ada seorang bapak yang berkendara motor dan berhenti sejenak di depan masjid untuk berdoa dan menyampaikan penghargaannya. Saya melihat dua orang ibu berjalan mundur ketika mereka meninggalkan masjid supaya tidak membelakangi situs suci tersebut. Dari Srinagar, ada beberapa tur sehari untuk diikuti. Kita bisa memancing ikat trout, atau sekadar trekking di Himalaya. Saya dan teman-teman pergi ke Sonamarg, sebuah kota kecil sekitar tiga jam perjalanan dari Dal Lake, dimana kita bisa menikmati sisa-sisa salju musim dingin. Kebanyakan turis pergi main ski di Gulmarg, kota lain yang juga berjarak tiga jam perjalanan. Kota-kota ini terletak di lereng gunung, sekitar tiga ribu kaki di atas permukaan laut. Supaya tidak salah kostum (seperti saya!), jangan lupa untuk memeriksa temperatur lokasi sebelum waktu ketibaan kita di Kashmir. Walaupun banyak hal yang bisa dilihat, hal-hal yang paling saya ingat jsutru adalah waktu yang saya habiskan di rumah perahu Bul-Bul. Menonton cricket (mereka terkejut ketika tahu kami tidak pernah main cricket), mendengarkan cerita rakyat (Dal Lake adalah danau yang dibuat oleh laki-laki bernama Kash untuk perempuan yang dicintainya, Mir), belajar bahasa Kashmiri sembari minum teh Kashmir (kahwa) untuk menahan dingin. Mereka juga tidak materialistis hanya karena kami turis. Beberapa kali, keluarga Ahmad justru membantu kami menawar harga belanjaan dengan alasan, orang lokal harus menghargai tamu agar mereka mau datang lagi. Sewaktu akan bertolak ke Sonamarg, kami meminta mereka menyiapkan makan siang. "How much will our lunch cost?" tanya saya kepada salah seorang anak keluarga Ahmad. "A couple of euros, or poundsterlings," jawabnya bercanda. Jawaban yang sama juga diberikan ketika saya bertanya berapa biaya ekstra yang harus kami bayar untuk kunjungan ke masjid Hazratbal dan tur keliling danau naik shikara di pagi terakhir kami di Kashmir. Pada akhirnya, mereka hanya meminta tambahan Rs. 500 (sekitar seratus ribu rupiah) untuk biaya makan siang kami berempat. Dua wisata terakhir yang tidak termasuk biaya akomodasi malah digratiskan. Disinilah saya merasa terkesan dengan kesederhanaan hidup mereka. Tidak banyak barang yang bisa disimpan di dalam rumah perahu, tapi begitu banyak kenangan yang dibagikan untuk setiap tamunya. Mereka juga meminta saya menulis pesan dan kesan dalam bahasa Indonesia di buku tamu untuk diperlihatkan kalau nanti ada orang Indonesia yang berkunjung ke sana. Oh ya, satu catatan penting kalau kita berkunjung ke Kashmir, pastikan kita sudah mengatur waktu pulang sejak awal. Keketatan pengamanan di bandara Srinagar bisa menyita waktu dua-tiga jam, karena ada banyak pos pemeriksaan yang harus dilewati. Waktu kami akan pulang, kami melewati sekitar lima pos pemeriksaan. Itupun kami beruntung karena supir kami memiliki authorized pass untuk melewati dua gerbang penjagaan sebelum masuk bandara, sehingga kami bisa check in tepat waktu. Selain dipenuhi tentara, banyak burung beterbangan di dalam bandara Srinagar. Sungguh pengalaman yang berbeda. Ketika menunggu panggilan boarding, saya melihat seekor burung berjambul yang bertengger di atas papan pengumuman. Seperti diingatkan akan waktu yang saya habiskan di rumah perahu Bul-Bul, saya pun tersenyum. Kalau ada kesempatan kembali, saya tahu di mana saya akan tinggal. http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/IPwkmWSzbiQ/menjadi-orang-danau-di-kashmir |
Ksatria Pengantar Makan Siang di Mumbai Posted: 10 Sep 2011 10:43 PM PDT Dabbawalla di Mumbai. Foto oleh Steve Evans, (lisensi Creative Commons) Ketika makan siang bersama kolega kantor saya beberapa minggu lalu, di sela-sela santapan yang menggugah selera dan diskusi produktif tentang pekerjaan, kami sampai pada cerita tentang ksatria-ksatria Mumbai. Kolega kantor saya memang berasal dari Mumbai, India, namun sudah bekerja di Indonesia hampir 15 tahun lamanya. Ksatria apa yang dimaksud? Jangan membayangkan mereka ksatria berbaju besi yang naik kuda untuk membela kepentingan negaranya. Ksatria yang kami bicarakan adalah ksatria pelanjut kehidupan: sang dabbawalla. Mereka adalah pekerja-pekerja gigih yang berkontribusi membantu jutaan rakyat Mumbai untuk makan siang. Kenapa saya juluki ksatria, kita akan tahu sebentar lagi. Mumbai adalah kota besar berpenduduk lebih dari 13 juta jiwa di sebuah pesisir India bagian barat, ibukota dari negara bagian Maharashtra. Setiap harinya bisa jadi 25% dari jumlah itu sedang bekerja atau belajar di luar rumah. Satu hal yang biasa menjadi dilema dan pikiran kita ketika bekerja atau belajar di luar rumah adalah makan siang. Semua dari kita pasti pernah mengalami dilema memilih makan siang: di mana, apa, dan kapan. Makan siang di rumah? Tidak selalu mungkin untuk pulang ke rumah ketika ada di kantor. Makan siang di kantin atau warung murah terdekat terkadang membuat kita khawatir akan kebersihannya. Makan siang di mal atau kafe tidak bisa setiap hari karena harganya kurang terjangkau. Lalu, makan apa? Pilihan makanan belum tentu sehat dan sesuai dengan selera. Karena tak ada waktu, kebanyakan kita memilih yang enak dan bikin kenyang saja. Kemudian, ada pertanyaan kapan kita makan siang? Terkadang kita lupa atau tak sempat beranjak dari tempat duduk. Alangkah enaknya jika ada yang mengantarkan makan siang di kantor kita. Persoalan-persoalan inilah yang coba dijawab oleh para dabbawalla atau "pengantar makan siang" di Mumbai. Pertama, makan siang yang paling sehat, murah dan baik adalah makan siang yang dibuat di rumah: bahannya pasti, orang rumah tahu apa yang terbaik buat kita, dan hampir pasti selalu enak. Kedua, bagaimana jika kita membawa makan siang rumahan ini ke kantor atau sekolah, tapi tanpa bersusah-payah membawanya sendiri? Ketiga, bagaimana jika makan siang rumahan itu diantar tepat waktu setiap hari jam 12 siang, lalu rantang (disebut "tiffin" atau "dabba" di India) kosongnya diantarkan lagi pulang ke rumah untuk dibersihkan dan dipersiapkan keesokan harinya? Menyenangkan bukan? Para dabbawalla ini bekerja setiap hari melakukan semua itu. Dengan biaya tak sampai Rs. 300 (Rp50.000-an) per bulan tunai, kita dapat menikmati makan siang rumahan di kantor (porsi penuh dan besar!) tanpa harus repot-repot membawa rantang besar di tas. Bagaimana caranya? Ada 5.000-an dabbawalla tersebar di berbagai distrik Mumbai dengan radius 60-80km yang siap menjemput rantang makan siang di rumah kita setiap pagi buta. Tentunya, makan siang ini harus dibuat oleh orang rumah, seperti ibu atau pembantu, atau kita sendiri kalau sempat. Para dabbawalla kemudian mengantarkan ke tempat kerja atau sekolah kita secara estafet. Satu rantang tidak dibawa oleh satu orang saja selama perjalanan. Mereka yang langsung mengambil rantang di rumah kita mungkin hanya membawanya sekian ratus meter atau beberapa kilometer, lalu memindahtangankan ke dabbawalla lain, yang kemudian, dengan modal sederhana seperti gerobak, sepeda atau rak yang dipanggul, melanjutkan perjalanan menemui dabbawalla berikutnya. Mungkin saja, dabbawalla berikut sudah menunggu di stasiun kereta api. Di sebuah gerbong khusus, mereka memasukkan ratusan bahkan ribuan rantang dari berbagai daerah. Gerbong kereta ini akan sampai di suatu tempat di tengah kota, lalu dabbawalla lain sudah menunggu di situ untuk dilanjutkan ke gedung kantor yang kita tuju. Begitu rantang sampai di kantor kita, jam sudah menunjukkan hampir makan siang, dan sesuai jadwal, kita bertemu kembali dengan rantang kita tadi pagi! Akhirnya makan siang pun disantap. Lalu bagaimana nasib rantang kosong itu? Rantang kosong kita tinggalkan saja di situ. Satu jam kemudian, ada dabbawalla yang sama yang akan mengambil rantang tersebut untuk diantarkan pulang, dengan rute yang sama ketika berangkat! Kita sebagai pelanggan pun bisa melanjutkan bekerja tanpa memikirkan ke mana rantang kita pergi. Kita pulang dan rantang kosong sudah ada di rumah, siap untuk dicuci dan digunakan kembali esok hari. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mereka bisa tahu rantang mana dikirim ke mana, dan ke kantor mana, untuk siapa? Para dabbawalla dibantu oleh sistem kode tulisan dan warna di rantangnya. Mereka tak peduli nama dari si pengirim dan penerima. Pelanggan hanya perlu memberitahukan lokasi pengiriman, (misalnya kalau di Jakarta, minta dikirimkan dari Tanjung Barat ke sebuah gedung kantor di Sudirman). Selanjutnya, "manajemen" dabbawalla yang akan memberikan kode sesuai sistem mereka sendiri. Berikut contoh kode dabbawalla yang dicat di atas rantang, berikut penjelasannya. Data diaptasi dari mumbaidabbawala.org Dalam kasus di atas, rantang dikirimkan ke sebuah gedung bertingkat. Dalam kasus gedung bertingkat, biasanya rantang hanya disampaikan di lantai dasar, untuk kemudian diambil oleh pegawai bersangkutan. Menurut diskusi saya dengan kolega kantor tadi, tidak pernah terjadi kesalahan selama enam tahun dia menggunakan jasanya ketika masih di Mumbai dulu. Tingkat kesalahannya hanya satu dari 16 juta pengiriman. Padahal, setiap harinya ada 200.000 rantang yang dikirim dan katanya mereka tidak berhenti bekerja walaupun dalam badai monsoon sekalipun. Mereka juga bekerja tanpa kendaraan bermotor. Mereka mengandalkan jalan kaki, sepeda atau gerobak. Terbayang laju yang tidak cukup cepat, tetapi tetap sampai pada tujuan tepat waktu. Distribusi rantang makan ala Mumbai ini juga tidak menggunakan teknologi tinggi seperti reservasi internet atau alat-alat canggih lainnya. Sebuah kenyataan menohok bagi kita barangkali yang selalu memuja perkembangan teknologi seluler! Sistem kerja dabbawalla ini sangat tersohor di dunia bisnis karena konsepnya yang dekat dengan logistik dan supply chain management. Beberapa pekerja dabbawalla bahkan sempat diundang ke seminar-seminar dan kuliah-kuliah bisnis di India untuk menjelaskan konsep mereka bekerja kepada para mahasiswa modern. Perlu diingat bahwa pekerja dabbawalla bukanlah individu berpendidikan tinggi (rata-rata berpendidikan SMP) dan tidak ada manajemen resmi, apalagi perusahaan yang mengatur semua ini. Penghasilan yang didapat oleh masing-masing dabbawalla per bulan paling rendah adalah US$40 (Rp360.000) sampai US$80 (Rp720.000). Beberapa ada yang mendapatkan Rs. 5.000 – 6.000 (Rp 971.000 – 1.100.000). Terbukti, bisnis dabbawalla ini memiliki banyak keunggulan dan manfaat. Ia merupakan bisnis yang rendah investasi, minim teknologi, ramah lingkungan, tetapi sangat efisien dan efektif, sangat berdedikasi, memberikan 100% kepuasan pada pelanggan dan dengan tingkat kesalahan yang hampir nihil. Wajar jika mereka saya juluki ksatria, karena berkat pengorbanan dan dedikasi mereka, warga Mumbai dapat menikmati makan siang murah, sehat dan teratur setiap hari. Seusai berbincang dengan kolega kantor, saya menatap kembali piring kosong di depan saya sisa makan siang kami hari ini dan berharap makanan yang baru kami santap telah diantarkan oleh seorang dabbawalla pertama di Jakarta… http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/kkXNCtgkxjg/ksatria-pengantar-makan-siang-di-mumbai |
Posted: 10 Sep 2011 10:38 PM PDT Hari sudah mulai sore saat acara larung potongan rambut gimbal selesai dilaksanakan. Dari Telaga Warna saya kembali nebeng mobil bak terbuka bersama dengan para petugas keamanan pariwisata. Saya minta turun tepat di depan penginapan saya yaitu Hotel Asri. Begitu tiba di penginapan saya kemudian beristirahat sejenak lalu mandi. Mumpung masih belum terlalu sore jadi lebih baik mandi saja, paling tidak dinginnya belum kebangetan. Masih ada waktu sekitar tiga jam tersisa sebelum maghrib datang. Memanfaatkan waktu yang masih lumayan ini saya gunakan saja untuk mengunjungi tempat yang lokasinya tidak jauh dari penginapan yaitu Telaga Merdada. Yah itung-itung buat jalan-jalan sore. Motor saya keluarkan dari penginapan.. Daann... Susah sekali ngidupinnya. Electric starter nggak berhasil menghidupkan motor saya. Terpaksa beberapa kali harus dipancal dengan kick starter baru bisa hidup mesinnya. Itupun susah sekali. Sepertinya efek suhu udara di Dieng yang begitu dingin membuat oli mesin agak membeku. Putaran mesin menjadi sangat berat sehingga susah sekali dihidupkan. Mesin motor saya panaskan selama kurang lebih 10 menit baru saya beragkat menuju Telaga Merdada. Saat melewati Dieng Kulon saya mampir dulu di sebuah warnet untuk melakukan backup foto yang ada di memory camera ke dalam flash disk. Kebetulan saya waktu itu memang nggak bawa netbook. Walaupun lokasinya di pelosok tapi ada beberapa warnet loh yang ada di Dieng Kulon. Lumayan bagi para wisatawan yang ingin terhubung dengan dunia luar. Hohoho.. Backup data cukup 30 menit sambil online sebentar baru deh meluncur ke Telaga Merdada. Telaga Merdada sendiri berada di Desa Karang Tengah. Dari jalan menuju ke arah Banjarnegara masih belok kiri melewati jalan yang cukup jelek. Mendekati area telaga kabut tebal sudah mulai turun. Lumayan mengganggu karena jarak pandang jadi rendah. Tidak lama kemudian saya sudah sampai di area parkir Telaga Merdada. Telaga Merdada sore itu sangat sepi. Mungkin saya adalah satu-satunya pengunjung yang datang. Ada tempat seperti gardu yang sepertinya untuk pembayaran loket masuk tapi nggak ada yang jaga, jadi anggap aja gratis. Area parkir Telaga Merdada lumayan luas, bisa menampung beberapa mobil dan cukup banyak sepeda motor. Ada fasilitas toilet juga tapi sepertinya sudah rusak dan dalam kondisi yang mengenaskan. Telaga Merdada memiliki luas kurang lebih 15 hektar. Di sekeliling terlaga di kelilingi oleh bukit dan tebing. Untuk itu Anda harus menuruni bukit yang cukup landai untuk sampai di telaga. Sore itu telaga benar-benar sangat tenang. Tidak ada pengunjung satupun kecuali saya. Di tepi telaga hanya terlihat dua sampai tiga orang penduduk yang sedang memancing. Saya menghampiri salah satu dari mereka. Ternyata si bapak masih belum dapat ikan juga walaupun udah dua jam mancing disini. Karena berfungsi sebagai tempat wisata, di Telaga Merdada juga sudah disediakan tiga buah perahu wisata bagi Anda yang ingin berkeliling telaga. Tapi namanya juga sepi pengunjung apalagi sudah sore, pemilik perahunya nggak tahu dimana. Perahu hanya dibiarkan tertali di batang-batang bambu yang terletak di tepi telaga. Sebenarnya Telaga Merdada cukup bagus, tapi sayang saya kesini sudah sore. Sepanjang mata memandang sudah mulai tertutup kabut. Otomatis telaga menjadi gelap karena kabut tersebut. Bagi Anda yang ingin ke Telaga Merdada ada baiknya jika Anda datang pada pagi atau siang hari saat kabut belum turun. Sore hari keindahan telaga sudah turun drastis karena yang terlihat hanya kabut yang tebal. Di sekeliling telaga Anda bisa menjumpai beberapa pohon cemara yang masih berdiri kokoh. Hanya sedikit pepohonan tinggi yang terlihat. Namun lahan pertanian yang ditanami tumbuhan seperti kacang, jamur, dan carica sangat mendominasi di sekitar telaga. Selain itu aneka macam bunga tumbuh subur di sekitar telaga. Paling banyak saya lihat adalah bunga pancawarna. Berlama-lama di Telaga Merdada sih enak-enak saja karena tempatnya cukup nyaman dan udaranya sangat sejuk. Tapi kalau sepi banget seperti ini ya agak-agak ngeri juga. Apalagi kabut tebal mulai turun menjadikan telaga cukup gelap. Daripada pikiran nggak tenang lebih baik saya segera meninggalkan Telaga Merdada.Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Mencicipi Lezatnya Mie Ongklok Khas Dieng (Wonosobo) Posted: 10 Sep 2011 10:37 PM PDT Seperti biasanya, semakin sore suhu di Dieng semakin dingin. Walaupun naik motor sambil menggingil, sore itu saya masih sempat jalan-jalan keliling Dieng. Cuma jalan-jalan santai aja sih mulai dari Candi Gatotkaca, Candi Bima, sampai ketemu Telaga Warna lagi. Nggak mampir, cuma lewat aja karena sebelumnya saya sudah mengunjungi semua tempat ini. Sampai di depan Telaga Warna saya melihat warung Mie Ongklok di pinggir jalan. Karena penasaran sama yang namanya Mie Ongklok jadilah saya mampir dulu ke warung tersebut. Lokasi warungnya ya masih sekitaran parkiran Telaga Warna, dijamin nggak susah mencarinya. Menu di warung ini adanya cuma Mie Ongklok, jadi pesennya ya Mie Ongklok aja ditambah dengan teh manis hangat. Tidak lama menunggu pesanan saya pun datang. Impresi pertama melihat mienya sih agak aneh. Isinya mie kuning yang ditambahkan sayuran berupa irisan kubis mentah kemudian disiram dengan kuah kental yang warnanya agak buthek. Dalam menghidangkannya ditambahkan irisan tahu bacem dan ditaburi merica bubuk yang cukup banyak. Memang saya tadi meminta Mie Ongklok yang pedas saat memesan. Rasanya gimana? Gurih mas broo.. Walaupun penampilannya kurang menarik tapi rasanya cukup enak. Merica bubuk yang banyak tadi juga lumayan bisa menghangatkan badan. Biasanya Mie Ongklok dinikmati bersama dengan sate sapi. Tapi hari ini sate sapinya lagi nggak ada jadi ya cuma mie doang. Harganya murah-meriah loh, cuma 7.000 udah termasuk teh manis. Oh ya, kalau saya nggak salah liat... Mie Ongklong di Dieng cuma ada di depan Telaga Warna. Di daerah dekat dengan penginapan nggak ada yang jual Mie Ongklok sepertinya. Nggak tahu deh, saya yang nggak lihat atau memang nggak ada. Yang saya lihat jualan Mie Ongklok cuma di depan Telaga Warna. Kalau Anda nggak pergi ke Dieng, Mie Ongklok malah banyak ditemui di Wonosobo. Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Minimnya Pilihan Makan Malam Di Dieng Posted: 10 Sep 2011 10:00 PM PDT Tidak terelakkan lagi, Dataran Tinggi Dieng merupakan destinasi favorit sebagai tempat tujuan wisata di Jawa Tengah. Cukup banyak wisatawan berbondong-bondong ke Dieng terutama saat weekend maupun libur panjang. Fasilitas penginapan juga cukup banyak tersedia di sepanjang Desa Kejajar. Namun satu hal yang masih kurang yaitu sulitnya menemukan warung makan pada malam hari. Meskipun sore hari tadi saya sudah makan dengan Mie Ongklok tapi itu belum cukup untuk mengisi perut saya sampai kenyang. Dengan bermalas-malasan saya keluar penginapan untuk mencari makan. Kalau sudah berada di penginapan memang terasa sangat malas keluar. Udara yang begitu dingin membuat badan terasa kaku, pengennya cuma tiduran aja di kamar. Tapi karena perut meronta-ronta, dengan terpaksa saya keluar untuk mencari makan. Desa Kejajar di Dataran Tinggi Dieng pada malam hari terasa sangat sepi. Di tengah dinginnya malam yang terlihat hanya beberapa rombongan anak muda sedang berkumpul atau bapak-bapak yang sedang menghangatkan badan di dekat bara api sambil ngobrol dengan rekan-rekannya. Suasana sudah tidak seperti malam sebelumnya yang ramai dengan turis. Karena Dieng Culture Festival 2011 sudah selesai, rata-rata turis sudah meninggalkan Dieng semenjak sore tadi. Berjalan kesana-kemari tapi saya tidak menemukan warung makan yang buka. Yang ada hanyalah warung nasi goreng yang berupa tenda pinggir jalan. Warung-warung lain yang biasanya buka pada siang hari juga cuma menyediakan makanan dan minuman instan saja. Opsi lainnya adalah warung makan Bu Jono yang sekaligus terdapat penginapannya. Minimnya pilihan makanan tersebut membuat saya lebih memilih nasi goreng saja. Dengan makan nasi goreng yang panas mungkin akan sedikit menghangatkan badan. Ini sepertinya juga satu-satunya penjual nasi goreng yang ada di Dieng. Namanya sih nasi goreng khas Pemalang, sebuah kota yang terletak sekitar 100 km dari Dieng. Menunya serba nasi goreng, mulai dari nasi goreng telur, ayam, mawut, petai, ati ampela, sosis, dan kambing. Selain itu juga ada mie dan capcay dalam bentuk goreng maupun kuah. Saya memesan nasi goreng telur saja. Tentu karena harganya paling murah. Hehe.. Warnanya cukup menarik, nggak terlalu banyak kecap dan saos yang memang nggak terlalu saya sukai. Untuk rasanya sih standar aja, meskipun kalau dibandingkan dengan kebanyakan nasi goreng di Surabaya masih lebih enakan nasi goreng ini. Acara makan sudah selesai, perut sudah kenyang, tapi saya belum juga beranjak dari warung pinggir jalan ini. Seorang bapak-bapak yang merupakan salah satu guide resmi di Dieng dan si ibu penjual nasi goreng masih terus saja mengajak ngobrol saya dengan keramahan serta Bahasa Jawa Ngapak-nya yang khas. Obrolan mulai dari seputar Dieng, objek wisata, hal-hal mistis di Dieng, kriminal, politik, sepakbola, sampai wanita. Beuuhhh.. Si bapak bertanya kenapa saya datang ke Dieng hanya sendiri saja, tidak membawa teman wanita. Lhaaaa.. Saya kan datang untuk menyaksikan Dieng Culture Festival paak, bukan buat begituaan.. Setelah mata saya udah mulai sepet saya berpamitan pulang ke penginapan untuk istirahat. Besok pagi saya masih akan melanjutkan jalan-jalan saya di sekitaran Dieng. http://www.wijanarko.net/2011/09/minimnya-pilihan-makan-malam-di-dieng.html Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Sumur Jalatunda Yang Biasa Saja Posted: 10 Sep 2011 09:59 PM PDT Seperti hari sebelumnya, pagi-pagi saya sudah terbangun dari tidur. Rasanya susah banget mau bangun agak siang. Mungkin karena suhu yang begitu dingin malah membuat saya selalu bangun lebih cepat. Untungnya malam tadi saya bisa tidur lebih nyenyak daripada kemaren. Ya sudah mulai sedikit terbiasa dengan udara Dieng yang dingin itu. Setelah matahari mulai terlihat, baru deh saya mandi. Daann.. Seperti kemaren, selesai mandi langsung jemur badan di halaman masjid. Hehe.. Pagi ini rencananya saya akan ke beberapa tempat seperti Candi Dwarawati, Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, dan Sumur Jalatunda. Motor saya keluarkan dari penginapan untuk dipanaskan mesinnya. Hal yang sama terulang lagi seperti kemaren, mesin motor susah sekali dihidupkan. Terlihat gejala-gejala oli mesin membeku membuat putaran mesin menjadi berat. Setelah mesin motor berhasil dihidupkan dan saya panaskan selama beberapa menit, saya berangkat ke beberap tempat tersebut. Antara Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, dan Sumur Jalatunda berada pada satu jalur sehingga saya ke tempat yang paling ujung dulu yaitu Sumur Jalatunda. Sedangkan tempat yang lainnya akan saya datangi saat perjalanan pulang. Jalan untuk ke Sumur Jalatunda juga searah dengan Telaga Merdada. Namun nantinya akan ada persimpangan jalan, belok ke kiri ke arah Telaga Merdada, sedangkan kalau lurus ke arah Sumur Jalatunda. Jarak dari penginapan ke Sumur Jalatunda sebenarnya nggak terlalu jauh. Jalannya udah bagus, aspal mulus walaupun nggak lebar. Namanya juga jalan di pegununungan, jalan naik-turun nggak terelakkan lagi. Meskipun begitu nggak akan bosen deh sepanjang jalan karena pemandangannya bagus. Tiga puluh menit berlalu, sampailah saya di Sumur Jalatunda. Saya membayar tiket masuk sebesar 2.500 ditambah dengan biaya parkir 1.000. Saya adalah satu-satunya pengunjung yang datang pagi itu. Untuk sampai di Sumur Jalatunda Anda harus menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu. Di puncak tangga ini akan ada sebuah pendopo kecil yang digunakan sebagai tempat untuk melihat Sumur Jalatunda. Sumur Jalatunda ukurannya cukup besar dengan diameter sekitar 100 meter. Sumur ini bukanlah buatan manusia, melainkan berasal dari kawah yang sudah mati selama ribuan tahun kemudian terisi oleh air. Airnya tidak berwarna bening, tapi berwarna hijau dan agak keruh. Anda tidak usah mendekati bibir sumur karena sangat curam dan berbahaya. Ada satu mitos yang cukup unik di Sumur Jalatunda. Bagi orang yang berhasil melempar batu sampai dengan dinding sumur yang ada di seberang sana, segala keinginannya akan terkabulkan. Percaya nggak percaya memang sangat sulit melakukannya. Batu sudah jatuh ke dalam sumur terlebih dahulu sebelum menyentuh dinding sumur sekuat apapun Anda melempar. Penjelasan secara ilmiahnya, di lokasi sumur ini gaya gravitasinya sangat kuat. Sehingga saat Anda melempar batu, belum sampai di seberang sana batunya sudah jatuh tertarik oleh gaya gravitasi. Untuk masalah mitosnya ya abaikan saja. Kalau Anda berhasil melempar batu sampai ke seberang berarti tenaga Anda memang benar-benar kuat. Hohoho.. Kalau dilihat dari segi keindahan, Sumur Jalatunda jauh dari kesan bagus. Hanya sebuah sumur besar dengan air berwarna hijau keruh. Nggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Lalu apa yang membuat wisatawan berkunjung kesini? Mungkin ya itu tadi, hal-hal mistis dan mitos membuat orang penasaran dan tertarik untuk datang. Apalagi katanya air sumur ini mempunyai kekuatan magic yang banyak dimanfaatkan pengunjung. Untuk apa? Mbooh saya nggak tahu! http://www.wijanarko.net/2011/09/sumur-jalatunda-yang-biasa-saja.html Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini ! |
Posted: 10 Sep 2011 09:55 PM PDT Saya nggak berlama-lama di Sumur Jalatunda karena cuma gitu-gitu aja. Saya balik arah untuk menuju Kawah Candradimuka. Sayangnya jalan masuk ke arah Kawah Candradimuka nggak bagus, hanya berupa tumpukan batu-batuan yang disusun sepanjang jalan. Dengan pertimbangan jalan jelek tersebut saya batal ke Kawah Candradimuka. Punggung saya sering sakit kalau lewat jalan yang tidak rata dan anjrut-anjrutan seperti itu. Lagipula sayang juga sih sama motornya. Xixixixi.. Jadi mending lanjut aja ke arah Kawah Sileri melewati jalan yang sama dengan saat berangkat. Di pos nggak ada yang jaga, jadi nggak dipungut bayaran tiket masuk. Nah yang bikin puyeng di Kawah Sileri adalah tempat parkirnya. Tempat parkir berada di tepi jalan. Kawah Sileri tanpa pengunjung sama sekali, benar-benar sepi nggak ada orang blass.. Kenapa bikin puyeng? Ya karena untuk ke kawah harus menuruni bukit dari tempat parkir ini dengan jarak yang lumayan jauh, sekitar 300 meter. Motor nggak akan kelihatan dari kawah kalau kita turun kesana. Dari segi keamanan emang agak riskan, nggak ada tukang parkirnya juga. Gimana mau ada tukang parkir wong pengunjung aja nggak ada. Yo wes nekat-nekatan aja, yang penting motor dikunci stang dan diberi kunci tambahan pada cakram langsung meluncur ke kawah. Dari tempat parkir ke kawah harus menuruni jalan setapak yang lumayan bagus. Di perjalan turun ini nantinya Anda akan menemui toilet yang dalam kondisi mengenaskan dan tidak terawat sama sekali. Tepat di tepi kawah terdapat dua buah gardu pandang. Dari gardu pandang inilah Anda bisa menikmati keindahan Kawah Sileri. Kondisi gardu pandangnya sama mengenaskannya. Atapnya sudah hancur, genteng-gentengnya sudah banyak yang lepas dari atap. Mungkin karena letusan tahun 2009 dan belum diperbaiki sampai sekarang? Kalau mau melihat kawah lebih dekat, Anda bisa saja turun sampai di tepi kawah. Sebaiknya kalau mendekati kawah berhati-hati karena hal ini tidak dianjurkan. Bau belerangnya menyengat cukup kuat. Konon Kawah Sileri merupakan kawah yang paling luas di antara semua kawah yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng. Luas kawahnya mencapai dua hektar. Kawah Sileri termasuk kawah yang masih aktif sampai sekarang dan terus memperlihatkan gejala vulkanis dengan mengeluarkan asap putih di atas permukaan airnya. Asapnya memang cukup tipis dan tidak setebal asap pada Kawah Sikidang sehingga permukaan air dapat terlihat dengan sangat jelas. Kawah Sileri sudah pernah meletus beberapa kali yaitu tahun 1944, 1964, 1984, 2003, dan yang terakhir pada September 2009. Menurut saya yang membuat Kawah Sileri begitu indah adalah lokasinya yang berada di Pegunungan Pagerkandang yang sangat hijau dan tidak terlihat tandus. Banyaknya tanaman pertanian membuat daerah ini cukup indah dipandang. Meskipun demikian Anda juga jangan berharap menemukan pepohonan yang tinggi di area ini. Seperti tempat-tempat lain di Dieng, daerah pegunungan sudah dibrondol menjadi area pertanian. Dari sisi perekonomian memang sangat bagus, tapiiii... Lihat saja nanti efeknya akibat pengalihan fungsi hutan menjadi ladang pertanian ini.. nha ini baru bagus !! Mars Kawah Sileri - Titi Kamal This posting includes an audio/video/photo media file: Download Now |
Wonogiri kota kecil namun menyenangkan Posted: 10 Sep 2011 09:50 PM PDT Wonogiri, (bahasa Jawa: wanagiri, secara harfiah "Hutan di Gunung"), adalah sebuah daerah kabupaten di Jawa Tengah. Secara geografis lokasi Wonogiri berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, bagian selatan langsung di bibir Pantai Selatan, bagian barat berbatasan dengan Wonosari di provinsi Yogyakarta, Bagian timur berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan. Ibu kotanya terletak di Wonogiri Kota. Luas kabupaten ini 1.822,37 km² dengan populasi 1,5 juta jiwa. wonogiri: Sejarah Sejarah berdirinya Kabupaten Wonogiri dimulai dari embrio "kerajaan kecil" di bumi Nglaroh Desa Pule Kecamatan Selogiri. Di daerah inilah dimulainya penyusunan bentuk organisasi pemerintahan yang masih sangat terbatas dan sangat sederhana, dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. Inisiatif untuk menjadikan Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden Mas Said, adalah dari rakyat Wonogiri sendiri ( Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk Wonogiri pada saat itu. Mulai saat itulah Nglaroh (Wonogiri) menjadi daerah yang sangat penting, yang melahirkan peristiwa-peristiwa bersejarah di kemudian hari. Tepatnya pada hari Rabu Kliwon tanggal 3 Rabi'ul awal (Mulud) Tahun Jumakir, Windu Senggoro: Angrasa retu ngoyang jagad atau 1666, dan apabila mengikuti perhitungan masehi maka menjadi hari Rabu Kliwon tanggal 19 Mei 1741 ( Kahutaman Sumbering Giri Linuwih), Ngalaroh telah menjadi kerajaan kecil yang dikuatkan dengan dibentuknya kepala punggawa dan patih sebagai perlengkapan (institusi pemerintah) suatu kerajaan walaupun masih sangat sederhana. Masyarakat Wonogiri dengan pimpinan Raden Mas Said selama penjajajahan Belanda telah pula menunjukkan reaksinya menentang kolonial. Jerih payah pengeran Samber Nyawa ( Raden Mas Said ) ini berakhir dengan hasil sukses terbukti beliau dapat menjadi Adipati di Mangkunegaran dan Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya ( KGPAA) Mangkunegoro I. Peristiwa tersebut diteladani hingga sekarang karena berkat sikap dan sifat kahutaman ( keberanian dan keluhuran budi ) perjuangan pemimpin, pemuka masyarakat yang selalu didukung semangat kerja sama seluruh rakyat di Wilayah Kabupaten Wonogiri. Pariwisata Di Kabupaten Wonogiri terdapat banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi. Baik wisata spiritual, petualangan, wisata alam dan lain sebagainya. Di antaranya obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, wisata gantole. Terdapat sebuah situs bersejarah bernama "Kahyangan" di dusun Dlepih, Tirtomoyo, yang jaraknya kurang lebih 47 km dari ibu kota kabupaten Wonogiri. Dari Kota Wonogiri, pengunjung bisa naik bus dari terminal bus giriwono dan naik minibus dari dekat ponten (dekat Kantor Badan Pertanahan), jurusan Tirtomoyo. Dari Tirtomoyo, bisa naik angdes jurusan Kahyangan atau Sukarjo. Sampai sekarang belum ada angdes yang bisa masuk sampai Kahyangan, sehingga harus dilanjutkan jalan kaki sekitar 1 Km. Pengunjung berkendaraan bisa langsung sampai ke tempat parkir Kahyangan. Desa Taman, di mana Kahyangan berada, dulunya merupakan sentra batik tulis, yang produknya banyak disetorkan ke Solo, untuk diproses lanjut. Banyak warga desa yang bergerak di bidang yang berhubungan dengan ba sanya banyak dikunjungi orang-orang dari luar daerah, yang mengadakan syukuran atas keberhasilan yang telah dicapai di tempat perantaunnya, dengan mengundang warga sekitar. Tempat Wisata Lain • Obyek Wisata Sendang • Girimanik • Pantai Sembukan • Pantai Nampu • Musium Wayang Kulit • Cagar Alam Danalaya • Gua Ngantap • Sendang Siwani • Gua Putri Kencono • Gua Musium karst • jala karamba waduk gajah mungkur: pantai nampu: musium karst: Kahyangan: Girimanik: Makanan khas • Terkenal dengan nasi"tiwul",Beberapa jenis makanan khas tersedia di Wonogiri. Kacang Mede adalah makanan yang berasal daribiji buah jambu mede (jambu mete) yang memang banyak terdapat di wilayah Wonogiri. Emping adalah makanan yang berasal dari biji buah melinjo. Biji buah dikupas, lalu ditumbuk sampai berbentuk lempengan kecil. Kedua jenis makanan ini disajikan setelah terlebih dahulu digoreng sampai kecoklatan. Cabuk adalah makanan yang berasal dari biji wijen yang dicampur dengan bumbu masak. Berbentuk pasta, warna hitam, terbungkus daun pisang. • Juga ada makanan dari singkong yang disebut "pindang", ini berasal dari tepung singkong yang dimasak dengan daging kambing, yang terkenal di Kecamatan Ngadirojo. Saat pagi hari juga sering dapat dijumpai kue serabi di beberapa tempat di dekat Pasar Kota Wonogiri dan tempat lainnya di kecamatan di wilayah Wonogiri. • Mie Ayam Wonogiri terkenal akan citarasanya • Makanan khas lain adalah bakso dan mie ayam Wonogiri yang memiliki citarasa khas, oleh sebab itu di Jakarta banyak sekali tukang bakso atau mie ayam dari Wonogiri. Selain itu pada malam hari, banyak juga pedagang makanan lesehan yang tersebar sepanjang jalan-jalan di Wonogiri, dengan bermacam-macam jenis makanan. Pusat jajanan khas Wonogiri ada di dekat kantor Kecamatan Selogiri, kurang lebih 5 km dari pusat Kota Wonogiri ke arah Kota Surakarta mie ayam: bakso: mete: emping: nasi tiwul: GAPLEK: Industri • Di bidang industri, Kabupaten Wonogiri memiliki beberapa perusahaan yang maju. Deltomed Laboratories dan Air Mancur contoh perusahaan jamu yang maju. Menghasilkan produk-produk jamu kemasan modern, perusahaan ini termasuk salah satu industri yang mampu bersaing di tingkat nasional. • Industri jamu juga terdapat pada level industri kecil, di mana banyak perajin jamu yang memasarkan di pasaran lokal. Banyak pula perajin jamu yang merantau ke luar daerah, lalu eksis di kota-kota besar di Indonesia. • Di samping jamu, Kabupaten Wonogiri juga memiliki industri makanan bakso. Sebagaimana perajin jamu, mereka juga banyak yang merantau ke luar daerah, lalu mendapatkan hasil yang memuaskan. • Industri transportasi di Kabupaten Wonogiri juga turut memberikan sumbangan. Beberapa perusahaan transportasi bus AKAP (antar kota antar provinsi) banyak terdapat dan dimiliki oleh pengusaha lokal. Rata-rata mereka melayani rute ke arah Jakarta, beberapa kota di pulau Sumatera dan kota Denpasar. |
You are subscribed to email updates from wisben.com on blogger To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar