Kecelakaan pesawat di Biak tahun 1957 menjadi headline berita kala itu. Namun tidak pernah ada monumen peringatan baik bagi 58 korbannya, maupun untuk penduduk Papua yang berhasil menyelamatkan nyawa 10 korban.
KLM tetap berpangku tangan. Berkat Hannie de Rijke en Henk Wagenaar, dua korban selamat, sekarang didirikan monumen peringatan atas kecelakaan naas tersebut.
"Kami sungguh diburu waktu!", tutur Hannie de Rijke. Dari 10 korban selamat, hanya lima yang masih hidup. Kebanyakan keluarga korban pun telah lanjut usia. Penduduk Papua yang ketika itu rela mempertaruhkan nyawa di laut demi menyelamatkan para korban pun sudah banyak yang meninggal dunia.
Saat kecelakaan terjadi 16 Juli 1957, Hannie berusia delapan tahun. Bersama orang tua, saudara laki-laki serta saudara perempuannya, ia menumpang pesawat Super Constellation Neutron milik KLM dari Biak. Ayahnya adalah seorang pengacara di Papua dan mereka sekeluarga hendak berlibur ke Belanda.
Low Pass
"Connie", sebagaimana pesawat itu dipanggil, lepas landas pukul 03.32 dini hari dari lapangan udara Mokmer, Biak. Hamparan laut memantulkan cahaya di bawah sinar bintang-bintang. Sang pilot bermaksud menunjukkan pemandangan cahaya di Biak kepada para penumpangnya sekali lagi.
Pesawat pun menukik tajam di atas laut dan kembali melintasi bandara untuk melakukan "low pass". Petugas pengatur lalu lintas bandara sengaja menyalakan lampu di sepanjang lintasan bandara. Namun pesawat kehilangan keseimbangan. Dalam waktu kurang dari tiga menit setelah memulai aksinya, pesawat pun terjerembab ke laut.
Ekor pesawat patah
"Saya memang merasakan kalau waktu itu kami terbang miring sekali. Setelah itu, langsung semuanya gelap. Saya tidak ingat lagi," kata Hannie de Rijke sambil mengingat-ingat. Hannie beruntung. Ia duduk bersama keluarganya di bagian ekor pesawat yang kemudian patah. Mereka pun tergelincir dengan kursi mereka ke lantai pesawat.
"Dibantu ayah saya, ibu tetap mengambang dengan kursinya. Ia cuma bisa berenang kalau airnya dangkal." Hannie pun berenang di antara potongan pesawat yang terbakar. Akhirnya ia dan seluruh anggota keluarganya, serta korban selamat lainnya berhasil diselamatkan penduduk Papua dari dalam air.
Tanpa monumen peringatan
Kenapa tidak pernah didirikan monumen untuk mengenang kecelakaan pesawat terparah dalam sejarah ketika itu? "KLM tidak berbuat apa-apa," kata Hannie. Mereka memang menolong dengan memberikan manifest penumpang, tapi selebihnya jangan berharap apa-apa. Hal itu ditegaskan sebanyak empat kali dalam sebuah surat."
Hannie tidak mau lagi berspekulasi tentang motif dari pihak KLM. Komite Penerbangan (Raad voor de Luchtvaart) saat itu menyimpulkan " bukan kesalahan terbang, bukan juga gangguan teknis yang bisa menjelaskan penyebab kecelakaan".
Namun komite menganggap aksi "low run" selama penerbangan normal tidak boleh dilakukan lagi. Hannie menyimpulkan, "Aksi semacam itu seharusnya dilakukan dengan pesawat olahraga, bukan dengan pesawat komersil yang penuh penumpang,"
Laki-laki berperawakan kecil
Hannie de Rijke kembali ke Belanda tahun 1960. Baru pada tahun 1987 ia kembali lagi ke Biak untuk pertama kalinya, demi mencari penduduk Papua yang menyelamatkan nyawanya. Ada sepuluh orang. "Koper saya dipenuhi kado untuk mereka."
Hanya Hendrik Simbiak yang masih ingat telah mengeluarkan Hannie dari dalam air. "Saya jadi sangat emosional dan langsung menangis. Ini untuk pertama kalinya, namun tentu saja wajar. Hendrik adalah laki-laki berperawakan kecil, tapi tetap sedikit nyeleneh. Kemudian ia membuatkan saya sebuah patung kayu."
Satu-satunya kenangan yang diberikan para korban selamat kepada penduduk Papua ketika itu adalah sebuah lonceng. Namun kini didirikan sebuah monumen peringatan di Biak yang akan dibuka pada 16 Juli 2012, tepat 55 tahun setelah kecelakaan naas tersebut. Biaya sebesar 12.000 euro berhasil dikumpulkan dari sumbangan keluarga, teman, dan kenalan para korban. "Tapi tetap saja harus ditambahkan dana lainnya," kata Hannie tertawa dan menunjuk ke halaman situs mereka.
Pulang ke rumah
Hannie belum berhasil menghubungi semua keluarga korban. Ada juga orang Inggris yang menumpang pesawat "Connie" waktu itu. Namun Hannie telah bicara dengan banyak orang yang ingin menghadiri pembukaan monumen peringatan. Batu peringatan itu ditempelkan di dinding luar museum kecil yang dibangun sendiri oleh penduduk Papua demi mengenang kecelakaan tersebut.
Kenangan atas Papua tetap bertumpuk. Kecelakaan pesawat ini tetap menjadi babak yang sulit ditutup. Namun kerinduan terhadap "kampung halaman" juga tidak terhapuskan.
Ketika remaja, Hannie berharap menemukan suasana dan aroma yang sama dalam liburannya di Spanyol atau Yunani. "Namun tidak pernah sama. Baru waktu kembali ke Papua untuk pertama kalinya dan melangkah keluar pesawat, saya langsung merasakan kehangatan, aroma, irama, kelembaban, pulang ke 'kampung halaman'."
(RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP INDONESIA /Johan Huizinga)
0 komentar:
Posting Komentar