Oleh Ustadz Zainal Abidin Bin Syamsuddin hafizhahullah*
Hidup Kaya Tidak Tercela
Masya Allah, "Sudah kaya, taat beragama, rajin beribadah, berinfakpun tidak pernah putus". Demikianlah kira-kira pujian terhadap orang yang memiliki banyak harta, berakhlak baik dan taat menjalankan perintah agama.
Bagaimana seharusnya seorang Muslim menyikapi harta kekayaan yang dimilikinya, haruskah dia kaya, atau biasa-biasa saja, ataukah terima apa adanya?
Harta kekayaan merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Kaya di dunia bukan satu hal yang tercela. Namun yang menimbulkan cela adalah perilaku orang berduit yang rakus dan tamak terhadap harta. Dalam rangka menumpuk harta, mereka tak segan-segan menggunakan cara yang tidak halal. Setelah berhasil meraihnya, mereka tidak menunaikan haknya, bakhil, membelanjakan harta bukan pada tempatnya atau bahkan sombong karenanya, sehingga Allah 'Azza Wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al-Ma'arij/70:19-21).
Agar sukses dan bahagia di dunia dan di akhirat, Allah 'Azza Wa Jalla mengarahkan para hamba-Nya agar berdoa sebagaimana firman-Nya:
Wahai Rabb kami! Karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan jagalah kami dari siksa apli Neraka. (QS. Al-Baqarah/2:201)
Imam Khazin Rahimahullah menegaskan dalam tafsirnya bahwa Allah 'Azza Wa Jalla membagi umat manusia yang berdoa menjadi dua; (pertama) kelompok yang hanya berdoa untuk kepentingan dunia. Mereka ini adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak meyakini hari kebangkitan dan akhirat. Sementara kelompok lain (kedua) yaitu orang-orang Mukmin yang menggabungkan dalam doa mereka antara kepentingan dunia dan akhirat. Dengan alasan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah yang selalu kekurangan, tidak sanggup hidup sengsara dan terlunta-lunta [1].
Pada pendahulu kita. Assalafus shalih dari kalangan Sahabat maupun Tabi'in telah memberi teladan bagaimana merahi sukses di dunia dan akhirat. Zubair bin Awwam RadhiyahAllahu 'Anhu misalnya, beliau RadhiyahAllahu 'Anhu memiliki isteri empat. Meski sepertiga hartanya telah diwasiatkan, tapi masing-masing isterinya masih mendapatkan bagian satu juta dua ratus dinar. Jumlah harta kekayaan beliau RadhiyahAllahu 'Anhu seluruhnya adalah lima puluh juta dua ratus ribu (dinar) [2].
Imam Ibnul Jauzi RadhiyahAllahu 'Anhu berkomentar, "Ini menjadi bantahan terhadap orang-orang zuhud yang tidak berilmu yang tidak suka mengumpulkan harta kekayaan" [3].
Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan seorang Muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan ketika mengasi rizki, sehingga pintu kemakmuran dan keberkahan akan terbuka.
Istiqamah dengan harta
Kekayaan kadang membuat manusia lupa kepada Allah 'Azza Wa Jalla yang telah memberi mereka harta. Ini menyebabkan kufur nikmat. Jika kekayaan membuat seseorang tetap istiqamah dan taat beragama, maka harta itu akan mendatangkan manfaat yang sangat banyak. Misalnya, dengan hidup berkecukupan, maka menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh. Oleh karena itu, harta di tangan seorang Mukmin tidak akan berubah menjadi monster perusak kehidupan dan tatanan sosial serta penghancur kebahagiaan keluarga dan pilar-pilar rumah tangga. Sebaliknya, harta di tangan seorang Muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah dan perekat hubungan dengan makhluk.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Harta terbaik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih [4].
Bahkan harta tersebut akan menjadi sebuah energi yang memancarkan masa depan cerah, dan sebuah kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan dunia dan akhirat. Harta juga bisa menjadi penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allah. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insan/76:8-9)
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga memberi pujian kepada seorang Muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar RadhiyahAllahu 'Anhu, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Dinar terbaik yang dibelanjakan oleh seseorang lelaki adalah dinar seseorang yang dibelanjakan untuk nafkah keluarganya [5].
Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan berpacu untuk mengejar pahala dan meraih surga, seperti yang terjadi pada kehidupan Umar RadhiyahAllahu 'Anhu yang bersaing secara sehat dalam berinfak di jalan Allah dengan Abu Bakar Rahimahullah. Umar bin Khaththab RadhiyahAllahu 'Anhu bercerita, "Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki banyak harta. Saya mengatakan, Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar RadhiyahAllahu 'Anhu. Lalu aku membawah setengah dari hartaku untuk disedekahkan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu? Saya menjawab, Aku tinggalkan sejumlah itu untuk keluargaku. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya. Rasulullah bersabda, Wahai Abu Bakar! Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu? Ia menjawab, Saya tinggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka. Lalu aku berkata, Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya [6].
Kenapa rela hidup terhina
Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup pada orang lain. Karena tindakan tersebut akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan kemunduran dalam kehidupan. Al-Qur'an juga memuji orang yang bersabar dan menahan diri dengan tidak meminta uluran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman:
Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah/2:273)
Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata, "Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja melainkan ia berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal sehingga hidupnya menjadi batu sandungan orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa kecuali orang yang hina dan gelandangan. Sebab orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Karena bisa jadi orang tidak memiliki harta, masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha" [7].
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri dengan tidak meminta-minta, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hadits dari Tsauban RadhiyahAllahu 'Anhu:
Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada seseorang maka aku akan menjamin dengan surga [8].
Seorang Muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sebab pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar RadhiyahAllahu 'Anhu bahwasanya Nabi bersabda:
Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun [9].
Seorang muslim harus wibawa
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar industri dan usaha yang kembang kempis tidak boleh membuat seorang Muslim frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogyanya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, menenggak khamer atau bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seorang Muslim dalam menghadapi krisi, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakkal dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi cambuk bagi seorang Muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka kran rezeki yang mampet. Karena setiap Muslim dituntut menjadi teladan, termasuk dalam semangat mengais rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal. Abdurrahman bin Auf RadhiyahAllahu 'Anhu ketika hijrah ke Madinan dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah, karena konsekwensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Makkah. Pada kondisi seperti itu beliau RadhiyahAllahu 'Anhu mendapat tawaran bantuan, namun beliau RadhiyahAllahu 'Anhu menampiknya dan mengatakan "Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah!" [10] Dalam waktu yang tidak begitu lama beliau RadhiyahAllahu 'Anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Adapun tentang hadits bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak adalah hadits palsu seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi RadhiyahAllahu 'Anhu dalam Talbis Iblis [11] dan sanadnya sangat lemah sebagaimana yang telah ditegaskan Imam adz-Dzahabi RadhiyahAllahu 'Anhu dalam Siyar A'lamin Nubala [12].
Kesibukan para utusan Allah dan para ulama salaf dalam mencari ilmu dan berda'wah tidak melalaikan mereka mengais rezeki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Maka, seorang Muslim harus bisa meneladani mereka, kesibukannya dalam berusaha jangan membuatnya lali menuntut ilmu atau alasan menuntut ilmu membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang Muslim asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi dengan profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Karena mulia atau tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya di pandangan manusia, seperti bekerja di pserusahaan asing ternama atau jabatan tinggi. Namun kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha di hadapan Allah serta terpuji dalam pandangan syariat.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi Zakaria 'Alaihis Salaam menjadi tukang kayu, Nabi Idris 'Alaihis Salaam menjahit pakaian dan nabi Daud membuat baju perang. Sehingga bisa dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mendiri merupakan Sunnah para utusan Allah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal [13].
Begitu pula para ulama salaf. Mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum Muslim lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab RadhiyahAllahu 'Anhu ketika menjadi khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal [14].
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain dan martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman:
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meninta). (QS. Al-Ma'arij/70:24-25)
Pahala mencari nafkah
Seorang Muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri [15].
Abu Qasim al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad Rahimahullah, "Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang". Imam Ahmad Rahimahullah menjawab, "Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasulullah, "Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)" [16].
Allah 'Azza Wa Jalla tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan, bahkan Allah mencintai orang kaya yang bersyukur, asalkan tidak sombong, mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allah, bersikap sombong dan kikir.
Sahl bin Abdullah At Tustari berkata: "Barangsiapa yang merusak tawakkal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah" [17].
Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berlimu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal tidaklah demikian, bahwak Abu Darda' RadhiyahAllahu 'Anhu berkata, "Termasuk indikasi pahamnya sesorang terhadap agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya" [18]. Wallahu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
0 komentar:
Posting Komentar