JAKARTA, Kemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam hitung cepat Pilkada DKI Jakarta menunjukkan figur menjadi faktor penentu. Partai politik sebagai penyedia calon pemimpin harus membenahi pola perekrutan dan menyiapkan calon-calon alternatif.
"Figur itu memberi saham 75 persen. Selebihnya, mesin partai dan dana (yang menentukan)," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil di Jakarta, Minggu (23/9/2012).
Sudah seharusnya partai politik lebih serius dan konsisten dalam melaksanakan fungsi partai, terutama fungsi perekrutan politik, serta pendidikan politik. Parpol sebagai produsen calon pemimpin sudah selayaknya mulai memproduksi calon-calon alternatif. Calon itu tidak hanya memiliki integritas, tetapi juga punya kinerja yang lebih baik dan mampu memenuhi keinginan publik.
Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Taufiq Kiemas, mengingatkan Joko Widodo (Jokowi) agar tidak lagi mengumbar janji. Kader PDI-P itu diharapkan merealisasikan janji kampanye begitu dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Ketua MPR itu juga mengingatkan agar Jokowi berupaya membuktikan janji-janji kampanye begitu dilantik sebagai gubernur.
Nasir mengatakan, selain membenahi pola perekrutan, parpol juga harus konsisten dalam melaksanakan fungsi partai lainnya, seperti fungsi sosialisasi politik dan komunikasi politik. Parpol harus selalu berusaha menyosialisasikan program kerja sekaligus menerima aspirasi masyarakat yang kemudian diartikulasikan menjadi program serta kebijakan.
Tidak mengikat
Kondisi itu menggambarkan bahwa karakteristik masyarakat mengambang semakin kuat. Keputusan pemimpin partai, kata Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, tidak lagi mengikat dalam pikiran ataupun nurani sebagian besar anggota partai. Evaluasi besar patut dilakukan oleh partai politik untuk mempersiapkan Pemilihan Umum 2014.
"Karakteristik rakyat kita mengambang. Tidak lagi bergantung pada keputusan pemimpin partai, apalagi masyarakat semakin cerdas melihat kader-kader partai yang korup. Mereka melihat kader-kader itu justru mencoreng partai yang selama ini menjadi aspirasi rakyat," kata Suryadharma.
Pengajar politik dan kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, dan pengamat hukum tata negara, Andi Irmanputra Sidin, melihat hal yang sama. Menurut Andrinof, calon yang dipaksakan untuk kepentingan elite politik cenderung kandas di tengah informasi yang kian terbuka dan pemilih yang semakin cerdas.
Mereka dipilih karena dinilai lebih memenuhi aspirasi rakyat yang menginginkan perubahan. "Sudah diketahui, aspirasi masyarakat cenderung menginginkan perubahan lewat Jokowi-Ahok, tetapi partai-partai pendukungnya ngotot mengusung Foke-Nara dengan kalkulasi dapat mobilisasi dukungan publik lewat instrumen parpol," kata Andrinof.
Oleh karena itu, partai-partai politik harus sungguh-sungguh merekam keinginan masyarakat dalam memajukan calon kepala daerah atau presiden. Jangan mengutamakan hasrat elite partai dengan mengandalkan instrumen politik praktis. Partai harus berdiri memihak keinginan masyarakat banyak.
Bagi Andi Irmanputra, kemenangan itu menggambarkan pertarungan sosok dan kinerja di antara para calon yang diusulkan partai. Momentum ini sebaiknya menyadarkan semua pihak bahwa partai jangan lagi menjadikan dirinya bagaikan rental mobil. Partai seakan bisa disewa para calon yang bermodal besar untuk mengantarkannya menduduki jabatan publik. "Partai itu wajib mencalonkan putra-putra terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin daerah atau nasional," katanya.
Apabila tetap mengutamakan calon pemimpin yang bermodal dan bisa membayar kerja politik, partai itu sesungguhnya telah melakukan kejahatan pengkhianatan konstitusi
Butuh perubahan
Menurut sosiolog Tamrin Amal Tomagola, sekarang ini rakyat memimpikan ada pemimpin yang mendatangi dan menempatkan diri sama tinggi dengan masyarakat.
"Tetapi mulai dari mana? Itu yang sepertinya belum juga terjawab setelah lebih dari satu dasawarsa pasca-Reformasi. Ketika ada figur yang dinilai bisa mewujudkan impian itu, warga pun berupaya mengangkatnya menjadi pemimpin," kata Tamrin.
Lihat saja, sebagian warga Jakarta rela membeli baju motif kotak-kotak dan uang hasil penjualan baju disumbangkan untuk dana kampanye Jokowi-Ahok.
Dilihat dari dinamika sosialnya, warga kelas bawah dan menengah di Jakarta ini jumlahnya berimbang. Di sisi lain, kelas bawah merasa ditipu oleh janji-janji para politisi.
"Katanya mau disejahterakan, ternyata tidak ada program pembangunan yang jelas bagi mereka. Dengan alasan masing-masing, kelas menengah dan bawah kini berupaya menentukan nasib mereka sendiri. Mereka tak bisa dipermainkan lagi dengan isu SARA karena tahu akar masalahnya," katanya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Hotman M Siahaan menambahkan, masyarakat ingin pemimpin yang merupakan representasi rakyat itu sendiri, yaitu sosok yang santun, sederhana, dan tidak korup. Fenomena Pilkada DKI Jakarta menjadi bentuk sikap perlawanan atau pembelotan rakyat terhadap dominasi elite politik. "Sebuah kematangan berpolitik tanpa kaos," katanya.
Figur yang memikat hati rakyat dan gebrakan upaya warga terbebas dari pengaruh elite politik ini, diyakini Tamrin, bakal mengilhami daerah lain di Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
Namun, Hotman meragukan gaung Pilkada DKI Jakarta akan berdampak terhadap pemilihan kepala daerah lain. Menurut dia, Pilkada DKI menjadi perkara nasional karena menyangkut status Jakarta sebagai ibu kota negara.
"Warga Ibu Kota itu heterogenitas dan tingkat rasionalitasnya tinggi. Di daerah kondisinya berbeda, justru kebalikannya dan sebagian besar masih homogen," kata Hotman.
Mencermati proses Pilkada DKI, Hotman mengatakan, ada beberapa hal yang wajib dilakukan calon pemimpin daerah ataupun presiden.
"Pertama, pemimpin harus berkontribusi nyata menjamin rasa aman dalam kehidupan sesama manusia. Hal ini bisa mencakup penanggulangan kejahatan, macet, banjir, dan problem lainnya," kata Hotman.
Sementara itu, dari Solo, Wali Kota Solo Jokowi menyampaikan, Pemerintah Kota Solo telah membangun sistem yang menjamin kebijakan yang ada tetap berjalan. Dengan begitu, siapa pun pemimpinnya, kebijakan-kebijakan penting itu akan tetap berjalan, seperti program jaminan kesehatan dan jaminan pendidikan.
"Fondasi sistem sudah dibangun, tahapan rencana pembangunan juga sudah ada. Tinggal menyelesaikan saja. Hanya gaya kepemimpinan saja nanti yang beda. Coba saja diamati setelah saya, tidak akan berubah, hanya beda gaya saja," kata Jokowi di rumah dinas Wali Kota Solo, Loji Gandrung.
Jokowi saat ini juga sudah mempersiapkan persyaratan administrasi sambil menunggu pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta dan kemungkinan munculnya gugatan hasil pilkada melalui Mahkamah Konstitusi.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dalam kaitan penghitungan manual hasil pilkada, integritas KPU DKI Jakarta dan Panitia Pengawas Pemilu benar-benar diuji.
"Pasangan calon jangan abai terhadap proses penghitungan suara karena, secara perundang-undangan, yang diakui adalah penghitungan manual, bukan hitung cepat," kata Titi.
0 komentar:
Posting Komentar