Oleh: Sholih Hasyim*
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-Araf (7) : 96).
TAHUN 2006, warga Indonesia dikagetkan dengan perceraian Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra) dan RA Ardhia Pramesti Regita Cahyani (Tata).
Tata, didampingi pengacaranya, Juniver Girsang menggugat cerai Tommy di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (PA Jaksel). Mengherankan, karena Tommy selain gagah, dia adalah anak muda yang kaya raya. Sementara itu, Tata, juga seorang wanita berkelas yang cantik, seolah tanpa celah.
Usai kasus Tommy, masyarakat juga dikejutkan dengan peceraian kakaknya, Bambang Trihatmodjo dengan Halimah Agustina. Bambang lebih memilih artis Mayang Sari. Padahal dibanding umumnya wanita, Halimah adalah wanita yang sangat cantik.
Sebelum kasus-kasus mengejutkan seperti itu, pengusaha dan artis Setiawan Djodi juga bercerai dengan bintang cantik bernama Sandy Harun. Kasus-kasus ini akhirnya selalu menyisahkan banyak pertanyaan di benak kita.
Mengapa kekayaan yang berlimpah tidak selalu mendatangkan kebahagiaan?. Mengapa rumah yang megah tidak bisa menghadirkan baiti jannati (rumahku adalah surgaku)?. Mengapa kedudukan yang tinggi tidak menjadi jaminan sebagai sumber kemuliaan dan kehormatan?. Mengapa pasangan hidup yang cantik atau tampan tidak menambah kebaikan dan penyebab terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah? Mengapa ilmu yang tinggi (sundhul langit, Jawa) tidak dapat mengangkat derajat pemiliknya, tetapi justru menghinakannya?. Mengapa anak-anak tidak bisa menjadi hiasan kehidupan (zinatul hayah) dan penyedap pandangan (qurrata a'yun) ?.
Mereka telah bekerja keras tanpa kenal lelah, memeras keringat siang dan malam, untuk meraih semua itu, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, kebahagiaan dan ketentraman yang selalu dicarinya, semakin jauh. Yang diperoleh justru kerumitan hidup dan malapetaka, kegersangan jiwa, kekalutan batin, dan kesempitan hati. Berawal dari kesempitan hati, berefek pada kesempitan kehidupan secara makro. Penyebab utamanya adalah semua yang dimilikinya tidak berkah.
Fenomena inilah yang menjadi kekhawatiran kita. Jangan-jangan, uang, rumah, istri/suami, harta, kedudukan, menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah Swt, sehingga tidak berkah. Jauh dari kebaikan-kebaikan. Justru, semuanya menjadi batu sandungan, duri, penghalang, dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Rasulullah Saw selalu memohon kepada Allah Swt untuk para sahabatnya, agar ketika mereka menikah semoga memperoleh berkah (barakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khair). Kepada sahabatnya yang kaya, semoga kekayaannya berkah. Kepada sahabat yang memiliki kelebihan ilmu, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat (berkah). Nabi Saw selalu meminta perlindungan kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu', nafsu yang tidak pernah kenyang, doa yang tidak terkabul.
Demikianlah, berkah itu maknanya adalah ziyadatul khair (tambahan kebaikan), sesuatu yang multiguna, bertambah kualitas dan kuantitasnya, bertambah kegunaannya, bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, kita tidak boleh hanya senang memiliki sesuatu. Padahal hakikatnya bukan hak milik, tetapi hak pakai. Tetapi, yang lebih penting adalah apakah yang kita miliki itu mengundang keberkahan. Kita tidak perlu bangga dengan apa saja yang kita miliki, jika ternyata tidak mendatangkan berkah. Jadi, bukan takut tidak memiliki sesuatu, tetapi yang lebih kita takuti adalah sesuatu yang sudah menjadi hak milik kita tidak berkah.
Betapa banyak kita temukan dalam realitas kehidupan, bahkan kita merasakan sendiri, orang menjadi sengsara dengan segala thethek bengek, perabot yang dimilikinya. Kita patut mencurigai, jangan-jangan sesuatu yang sah menjadi milik kita secara formal, dalam mengusahakannya terkontaminasi oleh prosedur yang tidak berkah. Karena, kita merasa ada yang kurang, ditengah keberlimpahan.
Jika kita membuka pandangan kita secara jernih, mencermati realitas sosial akhir-akhir ini, kita menyaksikan rumah tangga yang penuh percekcokan laksana bioskop.
Di sisi lain kita temukan rumah tangga yang sepi, tidak saling menyapa, bagaikan kuburan. Sekalipun dipenuhi dengan atribut kemewahan dan kemegahan. Jangan-jangan, kualitas keilmuan, iman, etika dalam keluarga terkecil dalam masyarakat itu jauh bahkan berseberangan dari nilai-nilai syariat Islam.
Misalnya, uang yang banyak malah membuat kerumitan hidup. Ilmu yang luas malah menghinakan pemiliknya. Kedudukan yang tinggi malah menjerumuskan ke dalam mafia kejahatan dan lain-lain. Ini pasti dalam mencari dan mengamalkannya bercampur dengan mekanisme yang tidak disenangi Allah Swt. Apalah artinya apa yang kita miliki menyengsarakan kita sendiri?
Alkisah, ada salah seorang ikhwan perintis sebuah pesantren di salah satu kota terbesar di Indonesia, ia menceritakan rahasia sukse lembaganya menyebarkan sayap dakwah ke seluruh pelosok tanah air.
"Sesungguhnya kami bisa eksis dan melebarkan sayapnya dakwah di 150 perwakilan di seluruh pelosok tanah air, bukan karena ilmu, bukan pula karena ketrampilan menejemen, dan kepintaran personilnya, melainkan karena rahmat dan barakah dari Allah Swt. Insya Allah," bagitu akunya.
Jika direnungkan, statemen saudara kita itu, besar kemungkinan benar. Tanpa rahmat dan taufiq dari Allah, sesungguhnya keberhasilan dan kesuksesan kita bukan apa-apa. Setiap orang bisa sukses. Hanya saja semua orang yang sukses belum tentu mendapat keberkahan dari Allah SWT. Alangkah ruginya kekayaan dan kesuksesan kita tanpa dibarengi keberkahan.
Maka, untuk melipatgandakan karunia yang telah diberikan oleh-Nya, kita harus mewaspadai kehidupan individu, keluarga yang tidak berkah. Yang tidak mendatangkan kebahagiaan hidup di sini dan hari esok. Mulailah berhati-hati dengan uang, prestasi, ilmu yang kita peroleh. Usahakan supaya yang menjadi milik kita menjadi multiguna (berkah). Jangan seperti orang kafir, tidak selektif dalam berusaha dan tidak hati-hati dalam memasukkan sesuatu di dalam mulutnya.
"Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang haus dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun." (QS. An-Nur (24) : 39).
Seperti halnya gelas. Gelas hanya bisa nikmat digunakan untuk minum jika terlebih dahulu gelas itu kita bersihkan. Tidak dipenuhi dengan kotoran-kotoran yang menempel didalamnya. Jangan sekali-kali mencoba untuk tidak jujur, karena kebohongan itu pangkal segala pelanggaran di dunia ini.
Untuk apa? Jujur atau tidak jujur tetap Allah Swt yang Maha Memberi. Rezeki penjahat juga datang dari Allah Swt. Rezeki orang yang jujur juga datang dari Allah Swt. Bedanya, rezeki yang diberikan kepada penjahat menjadi haram, tidak berkah. Sedangkan yang diberikan kepada orang yang sungguh-sungguh jujur adalah rezeki yang halal, berkah.
Banyak pencuri, koruptor, penjahat, perampok yang akhirnya berujung gagal. Sekalipun mereka menggunakan segala cara untuk mencari rezeki, tetapi jika Allah Swt tetap tidak merestui dan tidak memberkahi hasil yang ia peroleh.
Kalau kita mengharapkan rezeki yang berkah, harus berjuang sekuat tenaga agar jangan sampai terlintas dalam hati nurani kita secuil apapun untuk berbuat tidak jujur dan licik, sebab akan menghilangkan keberkahannya. Setelah kita berbuat jujur, hati-hati pula jangan sampai ada hak-hak orang lain yang terampas atau belum ditunaikan, apalagi hak ummat Islam secara keseluruhan.
Kehidupan yang tidak berkah adalah kehidupan yang dilaknat oleh-Nya. Dijauhkan dari kebaikan. Sehingga apa yang menjadi milik kita tidak menjadi pendukung untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kepemilikan kita tidak bisa menjadi sahabat, tetapi menjadi musuh bagi. Makin banyak harta, tinggi ilmu, mapan kedudukan, secara pelan dan pasti membuat lobang kehancuran kita sendiri (istidraj).
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-KU, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (serba sulit), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." [QS. Thaha (20): 124].
0 komentar:
Posting Komentar