Kunci pengendalian penularan HIV adalah pengendalian perilaku seks berisiko pada laki-laki. Perilaku seks laki-laki memengaruhi kesehatan perempuan dan anak.
"Perilaku seks berisiko tinggi memprihatinkan. Sekitar 3,1 juta laki-laki menjadi pembeli seks," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Nafsiah Mboi dalam diskusi "Di Balik MDGs: Peran Indonesia sebagai Negara Berpenghasilan Menengah dalam Mengatasi HIV serta Masalah Kesehatan Reproduksi", Senin (21/5), di Jakarta. Yang dimaksud sebagai perilaku seks berisiko tinggi adalah aktivitas seksual tanpa pengaman (kondom) sehingga rentan terhadap penularan HIV.
"Di daerah-daerah yang banyak proyek pembangunan biasanya disertai mobilisasi pekerja laki-laki muda. Di mana ada banyak laki-laki muda mencari nafkah, di situ banyak perempuan dan transaksi seks," ujarnya.
Perilaku seks berisiko tinggi rentan menularkan HIV kepada pasangannya. "Beberapa tahun lalu, penularan paling banyak lewat narkoba jarum suntik, kini penularan tertinggi lewat hubungan seks heteroseksual," ujar Nafsiah.
Ia mengatakan, kasus HIV baru paling tinggi pada ibu rumah tangga. Virus lalu ditularkan kepada bayi yang dilahirkan. Data KPAN, kasus penularan HIV dari ibu ke bayi naik dua kali lipat. "Perempuan sering tidak menyadari dirinya tertular HIV dari suaminya," ujarnya. Tanpa pemberian antiretroviral untuk pencegahan semasa mengandung, bayi kemungkinan terinfeksi saat dilahirkan sangat besar.
Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, Nila Moeloek, mengatakan, target Tujuan Pembangunan Milenium yang dikhawatirkan sulit tercapai adalah pengendalian penularan HIV dan penurunan angka kematian ibu yang memiliki dimensi sosial yang kompleks. Ia mengingatkan, program-program pencegahan dan promosi kesehatan menjadi penting.
Hal senada diungkapkan oleh Nafsiah. Pengendalian HIV sulit tercapai karena ketimpangan relasi jender. "Kunci ada di tangan laki-laki karena mereka mempunyai pilihan dan bisa memutuskan untuk melakukan seks yang aman atau berisiko," ujarnya.
Ia mencontohkan, pekerja seks yang dilatih untuk disiplin memakai kondom sering terpaksa mengalah kepada laki-laki pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom.
Penasihat Khusus dan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk HIV/AIDS Wilayah Asia Pasifik, Nafis Sadik, dalam kesempatan itu mengatakan, banyak program yang gagal karena faktor sosial, seperti ketimpangan jender yang ujungnya terkait pemberdayaan perempuan.
Sadik memandang perlu pembelajaran hak dan kesehatan reproduksi sejak dini di sekolah agar perilaku seksual generasi muda lebih bertanggung jawab. Di negara-negara Asia, hal itu masih jauh dari harapan.
0 komentar:
Posting Komentar