Fatma Said Bawahab (63) tampak bahagia menggendong Abigail Nuria (3 bulan), cucu dari putrinya, Nesya Hughes (36). Sang cucu adalah generasi ketiga dari perkawinan campur. Dua paspor, Indonesia dan Australia, diperlihatkan Nesya dengan wajah semringah.
Komunitas Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia atau PerCa Indonesia akhir Maret lalu menggelar pertemuan rutin di rumah Etty Hawes, salah seorang anggota, di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Bersamaan dengan itu, ada dua momen bahagia yang dirayakan, yakni kelahiran Abigail dan syukuran pelepasan kewarganegaraan Perry Shahid Pervez. Ayah dua anak ini semula berkewarganegaraan Pakistan, dan setelah 25 tahun tinggal di Indonesia, ia memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia.
Hari itu, Perry membawa kue cokelat dengan hiasan bendera Pakistan. "Hari ini adalah National Day Pakistan, dan ini terakhir kali saya merayakannya karena telah pindah kewarganegaraan," kata Perry dengan wajah bahagia.
PerCa Indonesia tak sekadar perkumpulan komunitas perkawinan campur biasa. Komunitas yang terbentuk sejak tahun 2008 dengan sekitar 250 anggota ini bukanlah perkumpulan untuk bersenang-senang atau arisan. Namun, lebih dari itu, komunitas ini berupaya mengambil peran strategis dalam bermasyarakat demi memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara (Indonesia). Sebab, betapa rumitnya persoalan sebagai warga negara yang harus dihadapi dalam keluarga perkawinan campur.
Kebijakan pemerintah untuk membuka ruang bagi kewarganegaraan ganda, misalnya, merupakan salah satu yang begitu disyukuri PerCa. Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, seorang anak hingga usia 21 tahun boleh memiliki dua kewarganegaraan. Hal ini tentu saja memudahkan keluarga dari perkawinan campur.
"Banyak problematik dalam perkawinan campuran terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kita ingin ada perkumpulan yang memberi hasil nyata dan bisa menjadi sumbangsih dalam memperbaiki hal-hal yang kurang sempurna," kata Rulita Anggraini, Ketua Umum PerCa.
Berkat ketekunan dan kekompakan anggotanya pula, PerCa tahun 2010 berhasil menggulirkan perundangan keimigrasian yang baru pada April 2011. Makan waktu nyaris setahun bagi PerCa untuk mengawal pembahasan rancangan perundangan tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui perundangan keimigrasian yang baru, UU Nomor 6 Tahun 2011 itu, salah satu masalah keimigrasian, yakni izin tinggal bagi WNA dalam keluarga dari perkawinan campur, dapat terlindungi.
"Dulu saban saya harus mengurus perpanjangan visa demi untuk berkumpul bersama suami di sini, perundangan yang lama belum mengenal konsep semacam permanent resident yang memudahkan keluarga perkawinan campur bisa berkumpul selayaknya keluarga pada umumnya," tutur Nesya Hughes, yang berkewarganegaraan Australia, dan menikah dengan Marvin, WNI.
Dengan perundangan yang baru itu, keluarga dari perkawinan campur yang berkewarganegaraan asing dapat memiliki izin tinggal tetap atau kartu izin tinggal tetap sesuai Pasal 54 dan 59 selama 5 tahun dan bisa diperpanjang. Sementara sebelumnya mereka hanya boleh memiliki kartu izin tinggal terbatas (kitas). Dengan demikian, perundangan tidak lagi memperlakukan izin tinggal WNA yang menikah dengan WNI sama seperti WNA yang berkunjung untuk wisata atau bekerja.
Dahulu, mengurus kitas pun sebagian keluarga perkawinan campur pun kerap menemui birokrasi yang rumit sehingga terpaksa menggunakan pihak ketiga yang disebut sebagai agen. Tentu saja biayanya melonjak berlipat-lipat, bahkan hingga Rp 12 juta. Padahal, tarif resmi tak lebih dari Rp 1,2 juta. "Saya pernah ditipu agen yang mengurus kitas, uang Rp 2,5 juta dibawa kabur," cerita Fatma, nenek dari Abigail.
Memulihkan hak
Salah satu yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi PerCa saat ini adalah berupaya mencari solusi legal terhadap masalah kepemilikan aset. Selama ini, merujuk perundangan agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 21, WNI yang menikah dengan WNA kehilangan haknya sebagai warga negara untuk memiliki aset. Contoh konkretnya, seorang WNI tidak lagi bisa memiliki rumah dengan sertifikat hak milik, tetapi hanya hak pakai, yang statusnya bahkan di bawah hak guna. Hal ini tentu menjadi kendala telak bagi si WNI ketika harus berurusan dengan pihak perbankan dalam rangka mengajukan agunan.
"Namun, kami sangat setuju dan mendukung kebijakan pemerintah yang mengatur bahwa WNA tidak diizinkan punya bagian dalam status hak milik atas tanah atau properti di Indonesia dalam kaitannya dengan tujuan perlindungan wilayah negara," tandas Rulita.
Dengan demikian, yang ingin diperjuangkan PerCa saat ini adalah pemulihan hak kepemilikan aset oleh WNI yang menikah dengan WNA, bukan memperjuangkan agar pasangan yang WNA dapat memiliki aset di Indonesia. Upaya ini tentu saja berkaitan dengan perundangan agraria. Untuk itu, PerCa masih menggodok solusi yang ingin ditawarkan kepada pemerintah.
"Selama ini, WNI yang menikah dengan WNA bisa memiliki aset (dengan hak milik) asalkan sebelum menikah membuat perjanjian pranikah yang bersifat sukarela. Cara demikian pun tidak diinformasikan ketika pasangan kawin campur hendak menikah. Sedikit sekali pasangan yang mengetahui hal itu. Belum lagi, perjanjian semacam itu tidak lazim dalam tradisi kita," ujar Rulita.
Selain mengambil peran strategis dalam memperjuangkan hak, PerCa juga berperan dalam advokasi, sosialisasi (peraturan), dan konsultasi bagi keluarga perkawinan campur. Semua itu demi dapat menikmati kehidupan berkeluarga secara lazim dan tenteram di tanah air Indonesia....
0 komentar:
Posting Komentar