Tahun ajaran baru segara dimulai. Mungkin hampir setiap orangtua tidak menyadari, jutaan pelajar di usia awal sekolah diseleksi, dites dan dipilih demi menemukan mereka yang membutuhkan dukungan pendidikan bakat agar lebih berkembang.
Yang terjadi, anak-anak dengan kemampuan lebih dianggap sama dengan yang lain. Celakanya, mereka dipandang sudah seharusnya mampu mengikuti setiap program yang diberikan.
Dalam kapasitas otak, mungkin iya, tetapi bagaimana dengan mental mereka? Jangan heran bila lazim dijumpai anak-anak cermerlang kita menjadi bosan, frustasi, dan bahkan berubah secara sosial dan akademis.
Padahal bisa jadi mereka membutuhkan program khusus untuk belajar dengan kurikulum sesuai percepatan mereka, dan berhubungan ''kawan setingkat'' yang mungkin memiliki ketertarikan sama
Yang terjadi, anak-anak dengan kemampuan lebih dianggap sama dengan yang lain. Celakanya, mereka dipandang sudah seharusnya mampu mengikuti setiap program yang diberikan.
Dalam kapasitas otak, mungkin iya, tetapi bagaimana dengan mental mereka? Jangan heran bila lazim dijumpai anak-anak cermerlang kita menjadi bosan, frustasi, dan bahkan berubah secara sosial dan akademis.
Padahal bisa jadi mereka membutuhkan program khusus untuk belajar dengan kurikulum sesuai percepatan mereka, dan berhubungan ''kawan setingkat'' yang mungkin memiliki ketertarikan sama
Ketika sekolah menjalankan tugas luar biasa untuk menemukan anak-anak hebat dengan metode pemindaian seperti rekomendasi guru dan tes IQ, orang tua jangan lantas tergantung sepenuhnya terhadap sekolah dan hasil pengetesan.
Perlu pula dipahami. program pelatihan guru hanya memberi sedikit--jika ada--pengajaran terhadap anak berbakat lebih. Ironisnya, sistem pengajaran yang ada membuat banyak anak dengan kemampuan lebih, justru tidak mencapai prestasi tinggi di kelas. Prestasinya biasa, atau malah tak begitu bagus dalam hasil ujian.
Anak-anak semacam ini bisa jadi memiliki masalah dalam fokus, perhatian, kemampuan organisasi yang lemah, atau sederhana, tidak cocok dengan gaya pengajaran di kelas. Sehingga mereka dipantau berlebihan dan dicap sebagai anak tertinggal. Mereka pun luput diperhatikan ketika ada seleksi atau program pemilihan anak berbakat.
Cerita seperti ini bukan hal baru. Beberapa pengamat tumbuh kembang anak memperkirakan, mayoritas anak berkemampuan di sekolah sering tidak teridentifikasi. Itu mungkin bukan tragedi besar bagi si anak, tapi sebaliknya, musibah besar dalam dunia pendidikan, bila ternyata terbukti mereka adalah anak-anak cemerlang yang butuh program khusus demi mendukung proses pendidikannya.
Sebuah cerita dituturkan oleh David Palmer, seorang doktor psikologi pendidikan di Amerika Serikat. Seorang bocah lelaki tinggal di Arizona dites privat atas permintaan ibunya yang prihatin karena nilai-nilai sang anak di kelas semakin jeblok. Si anak juga kerap berkonflik dengan guru, menjadi semakin tidak tertarik ke sekolah. Dalam hubungan sosial ia pun sering diejek dan diintimidasi secara fisik oleh teman-temannya. Rupaya teman-teman yang mengolok semakin antusias melihat reaksi berlebihan si bocah saat diprovokasi.
Akhirnya orang tua mempertimbangkan home-schooling, sejak anak mereka kian sulit dan sulit keluar pintu rumah untuk pergi ke sekolah. Baginya sekolah adalah siksaan. Usut punya usut sekolah tidak pernah mengetes anak tersebut demi mengetahui bakat dan kelebihannya. Tes spesifik juga luput dilakukan padanya.
Sangat mungkin, sang anak tidak cocok dengan kompetisi meraih prestasi tinggi, kerjasama, citra anak manis, yang kerap dijadikan pertimbangan para guru saat menyeleksi anak berbakat. Tapi faktanya, ketika anak dipisahkan dari orang tuanya lalu menjalani tes IQ, hasil yang keluar 160. Itu angka serius, menunjukkan anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan di luar kebiasaan.
Kisah semacam tadi sebenarnya bukan hal baru dalam kasus anak-anak dengan bakat dan kecerdasan lebih. Akhirnya si anak dites dengan metoda lebih cocok dan ditempatkan di program alternatif, di mana masalah akademis dan sosial dapat dihindari. Pada intinya, orang tua dan guru perlu menjalin pemahaman terhadap permasalah setiap murid dan berkolaborasi dalam prespektif lebih luas dengan solusi.
Karena tak jarang sekolah luput melihat seorang siswa berbakat yang sangat butuh program khusus. Pandangan orang tua sangat pun penting dan dibutuhkan. Semakin banyak pengetahuan yang dimilki orang tua, semakin baik posisi orang tua untuk berkolaborasi dengan sekolah demi memastikan potensi dan kebutuhan sang anak tidak luput dari perhatian.
Sumber
Akhirnya orang tua mempertimbangkan home-schooling, sejak anak mereka kian sulit dan sulit keluar pintu rumah untuk pergi ke sekolah. Baginya sekolah adalah siksaan. Usut punya usut sekolah tidak pernah mengetes anak tersebut demi mengetahui bakat dan kelebihannya. Tes spesifik juga luput dilakukan padanya.
Sangat mungkin, sang anak tidak cocok dengan kompetisi meraih prestasi tinggi, kerjasama, citra anak manis, yang kerap dijadikan pertimbangan para guru saat menyeleksi anak berbakat. Tapi faktanya, ketika anak dipisahkan dari orang tuanya lalu menjalani tes IQ, hasil yang keluar 160. Itu angka serius, menunjukkan anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan di luar kebiasaan.
Kisah semacam tadi sebenarnya bukan hal baru dalam kasus anak-anak dengan bakat dan kecerdasan lebih. Akhirnya si anak dites dengan metoda lebih cocok dan ditempatkan di program alternatif, di mana masalah akademis dan sosial dapat dihindari. Pada intinya, orang tua dan guru perlu menjalin pemahaman terhadap permasalah setiap murid dan berkolaborasi dalam prespektif lebih luas dengan solusi.
Karena tak jarang sekolah luput melihat seorang siswa berbakat yang sangat butuh program khusus. Pandangan orang tua sangat pun penting dan dibutuhkan. Semakin banyak pengetahuan yang dimilki orang tua, semakin baik posisi orang tua untuk berkolaborasi dengan sekolah demi memastikan potensi dan kebutuhan sang anak tidak luput dari perhatian.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar